Riaumag.com –Tulisan ini bisa jadi merupakan perpaduan dari scholarly self-reflection and personal expectation saya tentang berpadu-imbangnya intelektualisme dan aktivisme dalam diri seorang akademisi di sebuah lembaga akademik. Tulisan ini penulis torehkan sebagai bentuk apresiasi atas pengabdian Prof. Suyatno selama memimpin Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, Jakarta (masa jabatan 2005-2018). Saya sebut sebagai renungan diri dan harapan pribadi saya, karena topik ini seringkali menemani ingatan dan kegelisahan saya ketika memikirkan apa sebetulnya peran seorang intelektual dan bagaimana serta sejauhmana seharusnya mereka mengabdikan ilmu dan kepakarannya di tengah masyarakat yang didera berbagai persoalan moral, keagamaan, sosial, politik, ekonomi, budaya dan lain-lain?
Secara sederhana, intelektual sering dipahami sebagai komunitas elit atau the class elite yang diasumsikan publik memiliki kapasitas keilmuan memadai yang tidak dimiliki oleh orang kebanyakan. Derajat atau maqom intelektual seseorang dapat tercapai setelah melalui rangkaian proses akademik formal yang panjang dan melelahkan dan melewati pengalaman hidup yang sifatnya personal-informal yang berliku dan tak mudah.
Dalam kajian Sosiologi Pengetahuan –misalnya sebagaimana dijelaskan Gouldner dalam buku “the Future of Intellectuals and the Rise of the New Class”– komunitas intelektual dikategorikan sebagai kelas sosial baru yang menguasai ilmu pengetahuan dan memiliki kapital budaya berkat pengetahuan yang dimilikinya. Kapital budaya ini kemudian bisa saja dikembangkan menjadi kapital politik atau kapital uang/ekonomi.
Ada perdebatan tentang peran umum seorang intelektual, ada yang berpendapat jika ilmu yang dihasilkan seorang intelektual adalah bersifat objektif dan netral. Sementara ada juga yang berpendapat bahwa tidak ada ilmu yang netral dari aspek nilai dan karakter politik. Terlepas dari perdebatan epistemologis tersebut, saya pribadi memiliki harapan bahwa seorang intelektual seharusnya memiliki dua hal utama; pertama adalah kepakaran dan kedua yaitu integritas. Pakar dalam bidang ilmu yang dikajinya dan pandai dalam menjaga prilakunya agar istiqomah dalam kejujuran, bersikap objektif, dan adil. Seorang intelektual dituntut untuk terus meningkatkan kemampuan ilmiahnya di satu sisi, dan di sisi lain dituntut agar perannya bisa berkontribusi dalam memberdayakan masyarakat. Salah satu ciri intelektual kritis adalah memiliki kepekaan terhadap kondisi sosial masyarakat dan merespon hal tersebut dengan melakukan berbagai kegiatan advokasi.
Prof. Dr. H. Suyatno, M.Pd (yang menyelesaikan tugasnya sebagai Rektor UHAMKA pada tanggal 31 Oktober 2018) telah membuktikan kemampuannya sebagai seorang intelektual yang memiliki kemampuan memberi respon pada tantangan dan kebijakan akademik nasional yang berkembang sangat cepat dan dinamis. Respon yang tepat dan cepat atas suatu permasalahan tidaklah muncul begitu saja, tetapi lahir dari seseorang yang memiliki kemampuan mengenali dan memahami persoalan tersebut dengan baik, kemampuan memilih strategi yang paling pas dalam kondisi waktu yang serba ‘hectic’, dan kemampuan mengenali kesiapan lembaga, SDM, dan fasilitas/sarana prasana yang tersedia. Kemampuan demi kemampuan tersebut muncul karena pengalaman panjang beliau dalam tata kelola dan manajemen lembaga akademik yang baik. Kemampuan tersebut terasah, tergali dan berkembang karena seringnya dihadapkan pada persoalan riil yang dihadapi, dilihat, dan dirasakannya sendiri di universitas yang dipimpinnya.
Menurut saya, Prof. Suyatno telah menunjukkan upaya-upaya yang beliau lakukan dalam memberi respon pada tantangan akademik secara cepat, berjenjang dan berkesinambungan dari hulu ke hilir. Sehingga UHAMKA dibawah kepemimpinan beliau, dapat menunjukkan eksistensi dan prestasinya dalam mengikuti dinamika pendidikan nasional baik dalam bidang pengajaran, penelitian, pengabdian masyarakat, dan tentu Al-Islam dan Kemuhammadiyahan (Catur Darma PTM). Semua unsur civitas akademika UHAMKA terus didorong oleh beliau agar bisa menyelaraskan dan memantaskan kapasitasnya untuk dapat mengikuti perkembangan Pendidikan Tinggi Nasional. Semua unsur terus diperkuat rasa percaya dirinya, bahwa kita bisa bersaing dan bersanding dengan SDM kampus-kampus lain yang hebat. “Kita sama hebatnya dengan mereka!” Begitulah motivasi dari Prof. Suyatno.
Universitas merupakan bagian yang sangat sentral dalam menghasilkan seorang intelektual. Universitas juga sering disebut sebagai pusat kebudayaan yang menghasilkan orang ahli/pakar dengan segala otoritas keilmuannya. Universitas tanpa peran signifikan dari civitas, sulit diharapkan bisa berhasil mencetak intelektual yang berkualitas. Dengan dedikasi Prof. Suyatno, UHAMKA terus dikembangkan menjadi universitas yang memiliki tradisi intelektual yang baik. Tradisi intelektual, terutama dikalangan dosen dan mahasiswa, dapat tumbuh subur jika jelas kebijakan hulu hilirnya.
Tadisi tersebut tidaklah dapat tumbuh subur seketika, tapi melalui tahapan penggarapan dan penganggaran yang tepat dan memerlukan waktu yang panjang. Menumbuhkan tradisi intelektual adalah hal berat dan sulit. Hal itu tidak hanya membutuhkan proses dan pengalaman panjang, tetapi banyak prasyarat lain yang harus terpenuhi. Salahsatunya, prasyarat kebijakan (political will) dari pimpinan. Kebijakan akan berdampak kepada banyak aspek yang akan menunjang tumbuh suburnya tradisi intelektual di kampus. Sebut saja yang paling penting adalah kebijakan terkait aspek administrasi dan birokrasi di semua level, etos kerja staf dan tendik yang memadai, sarana prasana yang kondusif, dan kebijakan agar dosen memiliki kapasitas intelektual yang unggul. Tentu masih banyak aspek penting lainnya yang satu sama lain saling berkaitan dan saling menunjang.
Prof. Suyatno adalah intelektual yang memiliki kepekaaan terhadap kondisi-kondisi akademik yang perlu diperbarui di UHAMKA. Disetiap pembicaraan yang saya ikuti dan dengarkan langsung dalam berbagai kesempatan, saya menangkap pesan yang begitu kuat bahwa UHAMKA harus terus berubah kearah yang lebih baik dan berkemajuan. Berbagai upaya dan kebijakan dibuat oleh Prof. Suyatno agar tradisi intelektual dan kondisi lembaga dan SDM di UHAMKA terus membaik dan bahkan bisa mencapai tingkat terbaiknya.
Bagi saya, Prof. Suyatno adalah role model (uswah hasanah) seorang intelektual dan aktifis yang mengimplementasikan campus-society balance! Intelektual sejatinya bukanlah mereka yang berada di menara gading yang tidak memiliki peran dalam masyarakat dan tidak berkontribusi dalam menggerakkan pemberdayaan dan perubahan social ditengah lingkungannya. Maka intelektual seharusnya adalah juga aktifis. Dalam kamus Oxford (2015), aktivisme (activism) diartikan sebagai “the use of vigorous campaigning to bring about political and social change”. Prof. Suyatno dengan segala kesibukannya sebagai Guru Besar dan Rektor, ia adalah seorang aktifis yang terus berupaya membawa perubahan politik dan sosial di tengah lingkungannya, baik lingkungan kampus atau pun lingkungan masyarakat. Melalui aktifitasnya diberbagai organisasi, terutama melalui PP Muhammadiyah, Prof. Suyatno aktif dalam mengunjungi, membina, dan memberikan perncerahan kepada masyarakat ditingkat akar rumput.
Bahwa kinerja akademik sebagai pengajar dan peneliti sebaik mungkin di kampus, tidaklah cukup jika tidak ikut berpartisipasi dalam pergumulan masyarakat akar rumput. Intelektual sejatinya memberikan kontribusi nyata dalam pemberdayaaan masyarakat diberbagai lapisan sosial, politik dan pendidikannya. Itulah spirit dan elan vital sesungguhnya dari tugas Pengabdian Masyarakat yang diatur oleh LPPM kita. Intelektual tidak boleh terjebak dalam kesendirian atau isolasi intelektual dalam proyek yang memfokuskan hanya pada prestasi individual. Tetapi mereka harus terus bertanya tentang sumbangsih apa yang akan diberikan untuk kemajuan masyarakat di sekitarnya; termasuk kemajuan pola pikir, kemajuan prilaku, dan kemajuan cara berucap agar bisa terwujud cita-cita Muhammadiyah untuk “menciptakan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”
Keseimbangan intelektualisme dan aktifisme Prof. Suyatno tidak lain merupakan bentuk pengejawantahan dakwah persyarikatan yang memadukan dan menyeimbangkan dunia ideal dengan dunia praksis. Itulah ajaran terpenting dari pendiri Muhammadiyah KH. Ahmad Dahlan lewat teologi Al-Maun. Dakwah lapangan atau turun lapangan menyapa dan membina masyarakat terutama mereka yang lemah secara pendidikan dan ekonomi adalah kunci teologi Al-Maun. Seperti halnya Dakwah Muhammadiyah, Prof. Suyatno sangat aktif dalam aksi emansipatoris yang bagi saya merupakan penafsiran dan implementasi riil dari pesan al-amr bil ma’ruf.
Sedangkan sederet kegiatan prof. Suyatno lainnya dalam menahan terjadinya kemadharatan dan kemungkaran sosial akibat lemahnya ekonomi dan pendidikan adalah wujud dari an-nahy ‘anil munkar. Maka, Prof. Suyatno bagi saya juga turut aktif menjalankan peran sebagai pendakwah (da’i), yang seperti dipesankan Rasul untuk tidak ‘Uzlah (menyendiri dalam ruang intelektualismenya atau spriritualismenya) tetapi juga khulthah (berbaur dengan masyarakat sekitar dengan berbagai aktifismenya untuk melakukan pemberdayaan). Di bawah kepemimpinan seorang intelektual-aktifis dan pendakwah seperti Prof. Suyatno, pantaslah UHAMKA menjadi universitas unggul dan meraih akreditasi A.
Terima kasih Prof. Suyatno atas dedikasi dan komitmen intelektual dan sosialnya yang luar biasa untuk UHAMKA, Persyarikatan Muhammadiyah dan masyarakat luas. Semoga Allah Swt menempatkanmu di tempat terbaik-Nya atas semua kebaikan yang telah diperjuangkan selama masa hidupmu.
Kami semua yang merasakan kehilangan dan duka mendalam, tak akan pernah berhenti belajar dari semua kebaikanmu. Selamat jalan Prof. Yatno.