Riaumag.com , Bandung
Sejak lebih dari dua tahun lalu ditetapkan sebagai pandemik, virus Covid-19 belum juga ditemukan obatnya. Beberapa upaya yang dilakukan, seperti vaksinasi dan penerapan protocol kesehatan berlaku sebagai upaya untuk menghambat laju dari penyebaran Covid-19 di masyarakat. Alhasil, alih-alih menghilang, virus ini malah melahirkan berbagai varian baru hingga yang terakhir menyebar di banyak negara dengan nama Omicron.
Sejauh penanganan yang dilakukan pemerintah lebih didominasi dengan pendekatan medis melalui berbagai mekanisme dan pendektan-pendektan kesehatan (medical centric). Pendekatan yg terlalu medical centric ini seakan mengabaikan kemungkinan munculnya solusi melalui perspektif lain, misalnya pendektan sosial, ekonomi, dan keagamaan dalam menangani pandemic ini.
Kenyataan dominan nya pendekatan medis dalam kehidupan diistilahkan para Sosiolog sebagai medicalization (medikalisasi). Konsep ini merujuk pada proses ketika institusi medis (kesehatan) mengambil alih aspek-aspek kehidupan yang semula menjadi domain dari fungsi keluarga, hukum, agama dan juga institusi lainnya (Conrad, 1992). Sebagai ilustrasi misalnya pada era new normal ini, dalam pelaksanaan ritual ibadah yang melibatkan banyak orang, seperti shalat jum’at, idul fitri, Id Adha, yang asalnya merupakan domain keagamaan, namun pada masa pandemi ini pelaksanaannya tidak lagi sebatas masalah fiqh, melainkan persoalan medis terkait potensi penyebaran Covid-19. Alhasil otoritas keagamaan harus mengikuti ketentuan dari institusi medis ini.
Proses medikalisasi ini akan semakin kuat seiring dengan diberlakukannya new normal. New normal adalah sebuah cara baru dimana masyarakat beradaptasi atau berdamai dengan pandemi Covid-19 yang belum ditemukan obat nya ini.
Beberapa sektor kehidupan sudah mulai menyusun protokol new normal ini. Terbaru misalnya, kebijakan PPKM dilaksanakan diberbagai wilayah sebagai prototipe bagi pelaksanaan kenormalan baru ini. Begitupula sektor-sektor lain sudah melakukan persiapan dan simulasi pemberlakukan pelaksanaan kerja dalam ekosistem yang baru ini.
Meskipun penyusunan protokol new normal akan menyasar berbagai sektor kehidupan yang berbeda-beda, namun secara pasti proses medikalisasi akan memposisikan peran institusi medis dengan pertimbangan kesehatan sebagai standar utamanya.
Konsekuensi
Menguatnya proses medikalisasi pada kehidupan masyarakat berpotensi menjadikan institusi medis sebagai kontrol utama pada kehidupan masyarakat. Dengan demikian, persoalan-persoalan kehidupan yang bervariasi akan diukur menggunakan standar medis atau kesehatan.
Terkait pandemi, maka ukuran normalitas baru (new normal) adalah segala hal yang memakai tata cara hidup sehat. Dengan kata lain pula, ukuran sesuatu disebut normal pada era ini adalah yang sehat.
Proses medikalisasi ini dapat menciptakan kondisi ketergantungan masyarakat terhadap dunia medis. Dalam hal ini manajemen normalitas, seperti dalam banyak protokol new normal, menyembunyikan proses dominatif ketergantungan.
Relasi ketergantungan sektor lain terhadap institusi medis ini dinamakan sebagai medical nexus dimana ukuran kebolehan dan keabsahan untuk sektor-sektor lain sangat ditentukan oleh pertimbangan dunia medis tadi.
Pada tahap selanjutnya medikalisasi ini berpotensi tidak hanya mengontrol masyarakat dan invidu yang sakit, tetapi juga sektor-sektor lebih luas melalui pelembagaan ideology medicalization of life mencakup pada bagaimana hidup sehat, gaya hidup baru, dan tatanan new normal yang menuntut kepatuhan masyarakat agar bisa hidup pada era new normal ini.
Implikasi politik secara makro dari proses medikalisasi ini akan mendorong pada dominasi lembaga medis dalam berbagai sektor kehidupan, bahkan dapat mengalahkan otoritas institusi politik sekalipun.
Tentu saja problemnya bukan pada praktik medis itu sendiri, tetapi hakikat lembaga medis untuk menyembuhkan orang sakit, akan terdistorsi jika tidak diimbangi dengan peran otoritas institusi yang lain. Peran dan tugas institusi lain harus tetap dipertahankan karena tidak semua persoalan penyakit dapat ditangani hanya dengan pendekatan medis.
Penulis: Dede Syarif
Sosiolog, UIN Bandung
(for-riaumag.com)