Oleh: Dr. H. Gamawan Fauzi, S.H., M.M., Dt. Rajo Nan Sati
Beberapa hari yang lalu, dalam sebuah webinar yang mengangkat tema “Bung Hatta Inspirasi Kemandrian Bangsa”, Ibu Megawati, mantan Presiden RI kelima, dalam pandangannya saat menyampaikan welcome speech-nya menyebut, antara lain substansinya bahwa orang Minang sekarang tak sehebat orang Minang dulu. Tak tahu juga, dulunya kapan, tapi agak-agaknya sekitar masa-masa persiapan kemerdekaan, saat kemerdekaan dan awal-awal kemerdekaan.
Sebenarnya ungkapan semacam ini bukan yang pertama kali kita dengar. Setidaknya beberapa tokoh lain pernah juga bicara seperti ini. Di kalangan masyarakat Minang sendiri, juga sering muncul pernyataan semacam itu. Itu pula sebabnya sedikit-sedikit ada kata “Mambangkik Batang Tarandam”, karena yang lama-lama itu dianggap sudah terendam, perlu dimunculkan lagi batang-batang itu. Apalagi dalam forum-forum diskusi, seminar atau dialog, sering sekali muncul kalimat itu. Kadang bosan juga mendengarnya. Kata anak-anak remaja sekarang, “neg” rasanya.
Pertanyaannya adalah, benarkah orang Minang sekarang tak sehebat orang Minang dulu? Lalu Parameternya apa? Posisi di kabinet kah, pendidikan kah, persentase yang bersekolah kah atau yang jadi pejabat tinggi, jadi orang kaya dan pengusaha sukses, atau mengenai pemikirannya yang besar menyangkut negara dan hukum/great denker over staat und recht, jadi dokter, insinyur, dosen, wartawan, atau ada ukuran Iain? ltu yang tak pernah jelas. Hanya lontaran kata yang monolog dan klaim sepihak.
Kalimat yang menyebut bahwa orang Minang sekarang tak sehebat orang Minang dulu, bila dilihat dari aspek psikologi dan sosiologi, adalah kalimat yang mengandung pelemahan dan menisbikan generasi Minang sekarang. Kata yang berulang-ulang menyebut “Mambangkik Batang Tarandam” itu pengandung makna kekalahan dan kekurangan masa kini dibanding masa lalu, karena dengan sadar mengakui kurang dan kita tak sehabat orang-orang dulu.
Sejak saya jadi Bupati atau Gubernur di Sumatera Barat medio 90-an hingga akhir 2009 lalu, saya sangat tak sreg mendengar kalimat itu, bila proposal yang menyebut “Mambangkik Batang Tarandam” itu. Menurut pandangan saya, orang Minang ditilik dari berbagai aspek rasanya masih oke dan tak kalah majunya dibanding masa lalu, bila kita mau mendalaminya dari berbagai sisi kehidupan dengan ukuran ukuran yang jelas.
Seingat saya, selama ini saya tak pernah menyebut kalimat “Mambangkik Batang Tarandam”. Karena menurut saya, sejak dulu Minang selalu bangkik dan tak pernah tarandam, tetap berani hidup dan bukan berani mati. Kalau ada intelektual Minang yang hilang, itu memang karena sunatullah, karena semua ada akhirnya, mereka pergi satu demi satu, tapi juga muncul yang baru.
Bagi orang minang yang berfilosifi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK), memandang bahwa hidup itu dipergilirkan, warih bajawek, utang babayia, nan rancak diambiakan, nan buruak ditinggakan. Di tahun 50-an, pascaproklamasi, putra-putri Minang bergegas merantau mencari ilmu kemana-mana. Ada yang ke UGM, ITB dan bahkan juga ke luar negeri. Para tamatannya kemudian menyebar ke seluruh penjuru tanah air menjadi pamong-pamong muda di berbagai provinsi, menjadi guru dan sebagainya.
Betapa kemudian di era tahun 70-an banyaknya anak anak Minang yang bersekolah ke UGM, Ul dan ITB serta universitas ternama lain di tanah air, bahkan tak sedikit pula yang belajar ke mancanegara mendalami berbagai disiplin ilmu, bahkan di antaranya menjadi guru besar dan mengajar di universitas luar negeri.
Saya pernah bertemu beberapa guru besar di Jerman, seperti Prof. Jaluis, Prof. Firdaus di Malaysia dan beberapa orang di Australia seperti Prof. Ismet Fanani. Pernah suatu ketika, hampir semua Kepala Bagian Klinik di RS Hasan Sadikin adalah orang berdarah Minang, Dekan Fdok Ul sekarang adalah orang Minang, dan berapa banyak ahli jantung kini di RS Harapan kita orang Minang. Sebutlah Prof. Ganesa, Prof Idris dan Iain Iain. Dan yang tak terekspos juga tak sedikit di berbagai rumah sakit, termasuk di Dharmais yang saya temukan.
Ada pula saatnya bahwa hampir semua Kepala Dinas Kesehatan dan rumah sakit Provinsi di seluruh Sumatera, orang asal Minang. Di ITB pada tahun 1970 tak sedikit mahasiswanya berasal dari Minang, SMA 1 Bukittinggi setiap tahun sampai satu kelas berhasil meloloskan anak didiknya masuk ITB, belum lagi SMA Iainnya di Sumatera Barat. Buahnya antara Iain adalah pemilik usaha kosmetik Wardah, Ibu Nurhayati Subakat, John Willy, Jhoni dan Hasnul dan karena begitu banyaknya saya tak memuatnya dalam tulisan ini, walaupun banyak yang saya tau seperti Dr. Herman Dahnil, Prof. Jodi, Pakar Teknik Sipil ITB dan Rinaldi, mantan Dirut Telkom.
Bahkan pernah saat saya menjabat Gubernur, ketiga lembaga telekomunikasi Indonesia, Dirutnya dijabat orang Minang. Di Telkom ada Rinaldi dan Jhon Willy, di XL Dirutnya Hasnul dan Jhoni menjabat Dirut Indosat. Bahkan dalam periode Presiden SBY kedua, 27 persen anggota Kabinet diisi orang Minang, padahal populasi Minang secara statistik dari penduduk Indonesia hanya 2,7 persen saja. Dan Saat itu pula, 65 orang pejabat eselon satu kementerian dan lembaga adalah orang Minang. Saya tahu itu karena saya adalah anggota tetap tim penentu akhir/ TPA penentuan jabatan eselon satu, belum lagi dihitung yang berada di DPR, DPD dan BUMN yang jumlahnya juga besar. Sejumlah anggota DPR dan DPD saya kenal juga berdarah Minang dari daerah pemilihan provinsi lain di Indonesia. Termasuk Gubernur Aceh sekarang yang berasal dari Maninjau.
Saat saya manjabat Mendagri, saya sering keliling Indonesia. Tak terhitung orang asal Minang menjadi anggota DPRD di berbagai provinsi, bahkan juga menjadi tokoh di provinsi tersebut yang mengetuai berbagai lembaga daerah. Dalam dunia usaha, saya kira juga begitu, tak sedikit jumlah orang kaya di Indonesia yang berdarah Minang saat ini. Hartanya mungkin lebih banyak dibanding Pak Hasyimning, Pak Latif atau siapalah yang kaya pada masanya dulu. Walaupun tentu lebih sedikit dibanding Taipan Taipan yang kaya sekarang. Tapi itu soal lain. Bisa berpanjang-panjang kita mengurai bila hal ini dibahas satu persatu.
Dalam dunia intelektual, pemikiran dan gelar akademik, saya pernah bertemu seorang Doktor muda asal Minang tamatan Belanda. Saya bilang ke anak Muda itu, “Kamu lebih hebat dari Bung Hatta jika ditinjau dari sisi akademik, karena beliau bergelar doktorandus tamatan Belanda, ketika indonesia masih tidur, sedangkan kamu Doktor tamatan Belanda ketika Indonesia sudah bangun dan merdeka, sementara Sutan Syahrir dan haji agus Salim yang sangat sangat cerdas itu tak jadi menamatkan sekolah”.
Kalau kita pakai ukuran “dulu”, tak mungkin Pak Jokowi jadi Presiden, karena konon beliau tak suka baca buku politik, beliau suka baca buku yang ringan ringan saja. Bagaimana mungkin membangun semangat perjuangan bila tak ada pemahaman tentang masa lalu/history, sosiologi bangsa terjajah, harus punya ide masa depan/futurolog, harus mampu membakar semangat perjuangan dengan narasi dan diksi-diksi bernas untuk membakar semangat dan bangkit melawan penjajah untuk masa depan yang gemilang. Singkatnya harus punya visi, misi, strategi dan taktik. Atau memberitakan alternatif pemikiran dengan pengetahuan yang luas seperti dilakukan Bung Hatta, Mohamad Yamin, Syahrir, Natsir, Tan Malaka dan orang Minang lainnya.
Kadang beliau-beliau itu tak sejalan denga Bung Karno, bahkan pada saat tertentu menjadi rival politik Bung Karno.
Bukankah musuh adalah teman dalam berpikir? Input dari tokoh-tokoh itu pula yang kemudian menjadi tesis yang melahirkan antitesis untuk melahirkan tesa baru yang lebih bernas. Kini, di saat kritik itu sudah berkepanjangan, dan sudah sangat lama berpendar dalam pikiran sebagian orang Minang, mungkin saatnya kita perlu mengklaim sesuatu dengan menggunakan ukuran, data, komparasi ketokohan dan lainnya, agar masyarakat Minang tau posisinya dulu dan sekarang di kancah nasional atau internasional. Sehingga secara objektif bisa disimpukan apakah benar orang Minang sekarang tak sehebat dulu? Atau mungkin saja justru lebih hebat dibanding dulu.
Kebesaran seseorang tentu tak sepanjang zaman, kecuali Rasulullah, tapi kebesaran sasaorang adalah pada zamannya. Kehebatan pahlawan ditentukan oleh medan perjuangannya pada masanya. Jangan bandingkan ketokohan seseorang dengan zaman yang berbeda. Bila kini Bung Karno hidup, belum tentu beliau akan jadi Presiden dan belum tentu juga beliau siap di-bully tiap menit di sosial media seperti yang dirasakan oleh pemimpin sekarang.
Sebaliknya, pemimpin sekarang juga belum tentu mampu menggerakkan perjuangan seperti dilakukan pemimpin kita masa lalu. Kita bisa membayangkan betapa susahnya Bapak M. Yamin meneliti bahasa di tanah air sebelum memunculkan bahasa Melayu sebagai akar bahasa persatuan Indonesia, sehinggat beliau harus berlayar ke seluruh penjuru tanah air dengan kapal kapal kecil dari pulau ke pulau hingga ke ujung ujung negeri nusantara, dengan berbekal seadanya, dengan uang pribadi, dengan baju lusuh, sehingga ketika pada kongres kebudayaan pertama saat beliau digugat oleh Prof. Prio yang mempersoalkan Bahasa Melayu dan bukan Bahasa Jawa menjadi bahasa persatuan Indonesia.
Padahal orang Jawa merupakan suku bangsa terbesar di tanah air. Dengan argumen yang kuat, beliau mampu menepis argumen Prof. Prio tersebut. Beliau mengatakan, orang Jawa memang suku bangsa terbesar di tanah air, tapi ketika beliau pergi berkunjung ke pelosok-pelosok nusantara, tak semua bisa berbahasa Jawa, sebaliknya kemanapun beliau pergi di negeri ini, semua bisa mengerti Bahasa Melayu. Semua yang dilakukan Pak Yamin untuk meneliti bahasa itu tak pernah dibiayai negara, tanpa fasilitas pemerintah, tanpa uang perjalanan dinas, akomudasi dan biaya transportasi seperti sekarang.
Sekelumit pandangan umum saya terhadap kemajuan putra-putri asal Minang yang menepis anggapan bahwa orang Minang kini tak sehebat orang Minang dulu, bukan dimaksudkan menisbikan kehebatan orang Minang dulu, tapi untuk mengatakan bahka orang Minang kini tak kalah hebatnya, bahkan secara kuantitas jumlahnya jauh lebih besar dibanding dulu. Kalau kehebatan orang Minang dulu yang ditandai dengan jumlahnya yang banyak berada di panggung sejarah perjuangan bangsa dengan ketokohannya yang terbatas pada masa itu, maka itu adalah suatu kenyataan. Tapi bila secara persentase, sejumlah orang Minang juga eksis di panggung orde baru dan era reformasi tak bisa dipungkiri. Mereka pun ada di berbagai sisi kehidupan dan profesi, seperti politik, pemerintahan, dunia usaha, seni, budaya, jurnalis, akedemik, iptek, kesehatan, pendidikan dan sebagainya.
Kehidupan selalu memberi tantangan yang berbeda untuk setiap zaman. Karena itu, kepada generasi muda Minang yang kini disebut kaum Milenial, serta mereka yang merasa bahwa orang Minang tak lagi hebat seperti dulu dahulu, saya ajak, berhentilah merasa rendah diri tapi lebih baik bila rendah hati, karena manikam tulen akan tampak juga oleh jauh hari.
Ketika Presiden Soeharto menyerahkan penghargaan Panji Parasamya Purnakarya Nugraha kepada Gubernur Azwar Anas di Stadion H. Agus Salim pada tahun 1984 yang lalu, sebagai bukti keberhasilan pembangunan Sumatera Barat, beliau berucap dalam pidatonya, yang kira kira bagini kalimatnya. “Dalam sejarah perjuangan bangsa ini, Minangkabau menyumbangkan peran yang tak ternilai harganya. Dari ranah Minang yang permai ini, bangsa Indonesia menghormati sejumlah tokoh seperti Sutan Syahrir, Tan Malaka, Haji Agus Salim, Muhamad Natsir, dan sejumlah tokoh lainnya seperti Bung Hatta, seorang pejuang, seorang Proklamator dan seorang muslim yang tidak pernah cacat”.
Berdiri bulu ramang saya mendengarnya, dan pada saat yang sama saya meyakini bahwa kalimat itu disampaikan sebagai penghargaan atas keberhasilan manusia-manusia Minang (sebut Sumatera Barat) dalam membangun dirinya, karena bukankah hakikat pembangunan itü sendiri adalah keberhasilan manusia dalam membangun dirinya. Penilaian keberhasilan itu kembali terukang pada saat mempertahankannya beberapa tahun kemudian, sehingga memperoleh Panji Prayojana Pata Parasamya Purnah Karya Nugraha yang kembali diserahkan Presiden Soeharto kepada Gubernur Hasan Basri Durin di Stadion Senayan Jakarta.
Kini penilaian penilaian semacam itu tak ada lagi. Politik memang selalu berubah. “If you don’t change, you will die (Jika Anda tidak berubah, Anda akan mati),” kata Prahalad. Namun secara tersirat bisa dibaca, bahwa hingga saat ini, tak ada provinsi di Republik ini yang 4 orang Gubernurnya dipercaya sebagai Menteri.
Bukankah itu terjadi setelah era Orde Baru? Bahkan 5 alumni Universitas Andalas dipercaya menjabat Menteri, Wakil Menteri atau jabaan setingkat menteri. Bukankah itu juga sebagai bukti penghargaan terhadap putra-putri Minang/Sumatera Barat dan juga Universitas Andalas sebagai Universitas tertua di Iuar Jawa bersama Univrsitas Hasanudin?
Saya sama sekali tak kecewa dengan ungkapan Ibu Megawati, mantan Presiden RI ke-5 itu, justru saya berterima kasih dan menghargai narasi beliau yang bukan mangandung peyoratif tapi sekadar mengkritisi keadaan menurut pandangan beliau. Bukankah kritik adalah vitamin yang menyehatkan?
Bagi saya ungkapan semacam itu adalah obat sehat, agar tak menjadi manusia yang suka menyenang-nyenangkan diri sendiri dengan nostalgia masa lalu yang gemilang, karena itu justru menjadi racun bagi usaha untuk terus menggelorakan semangat generasi milenial yang tengah menghadapi tantangan persaingan kesejagatan yang amat berat.
Bagi generasi milenial Minang, tentu kita boleh berharap. Jika usiamu tak sepanjang dunia, isilah hidupmu dengan ilmu dan karya.
sumber : khazminang.id
👑