Dari Buku Raja Bambang Sutikno
Riaumag.com , Jakarta
Yang paling tepat untuk duduk di kursi legislative, judikatif dan di eksekutif seharusnya orang yang memiliki rasa tanggungjawab penuh, tulus ikhlas berorientasi pengabdian. Syarat untuk mendaftar sebagai CALEG, CAPRES dan Kepala Daerah dalam PILKADA sebaiknya direvisi.
Negara kita butuh pemimpin dengan track record yang bersih dan kita harus menyingkirkan pemimpin dengan track record yang kumuh. Kita perlu menciptakan sistem pemilihan yang memungkinkan munculnya para pembela rakyat yang memiliki jiwa berkelimpahan.
Jangan sampai calon-calon busuk yang hobi KKN mendapatkan kursi pemimpin sementara anak bangsa yang berdedikasi tinggi tidak diberi jalan. GIVE and GIVE and GIVE …..Apakah anda sepakat dengan falsafah ‘take and give’ dalam menjalani kehidupan sebagai spiritual person?
Pada hal itu falsafah yang 100% keliru. Tidak ada agama apapun atau dimanapun yang mengajarkan ummat agar take dulu baru give. Bahkan walau pun itu dibalik menjadi give and take, ’give’ dulu barulah ’take’ tetap saja tidak ada agama yang mengajarkan jalan pikiran begitu.
Para pemuka agama semua sepakat bahwa sikap ’memberi dan meberi dan memberi’ lebih tepat, anggun, mulia dan diridhoi oleh Yang Mahapemberi. Memberilah tanpa pamrih, tanpa menanti tangan anda diciumnya, tanpa berharap ucapan terima kasihnya, tanpa gembar-gembor di media, kecuali semata-mata mengharapkan keridhoan Yang Mahapemurah.
Kenapa ibu menjadi sangat tegar menghadapi kehidupan? Karena dia selalu terinspirasi oleh keinginan memberikan yang terbaik kepada anaknya tanpa memikirkan balasan. Kenapa ayah berjuang sangat keras mencari nafkah?
Karena kebahagiaannya terletak pada senyum anaknya yaitu keberhasilan memberikan yang mereka butuhkan dan perlukan walau pun untuk itu orang tua lupa memikirkan keselamatan dan kesehatan dirinya. Kebahagiaan ayah dan ibu adalah ketika mereka mampu memberi dan memberi dan memberi kepada anak-anak.
Ketika seseorang memberi, bersedekah dan berzakat kemudian sikap itu menimbulkan perasaan senang, tenteram, bahagia dan ikhlas, tidak ada perasaan riyanya, maka itulah cara efektif menyalakan gen-gen pencerahan dan berkelimpahan.
Bersedekah maksudnya adalah giving, memberi. Memberi, bersedekah, adalah pekerjaan mulia. Berat dilakukan jika tidak ikhlas dan tidak dilandasi oleh iman. Ringan dilakukan jika yakin bahwa Tuhan akan memberi pertolongan kepada hambaNYA yang menolong saudaranya.
Lebih ringan lagi jika percaya bahwa di dalam rezeki kita ada hak fakir miskin. Ihklaslah dalam memberi seperti yang diberikan ayah bunda ketika kita masih kecil. Kenapa ayah dan ibu menjadi sangat tegar menghadapi perjuangan serta romantika kehidupan?
Karena mereka selalu terinspirasi oleh keinginan memberikan yang terbaik untuk anaknya tanpa pamrih. Kebahagiaannya terletak pada kebahagiaan anaknya.
Untuk itu orang tua bisa lupa terhadap keselamatan dan kesehatan diri mereka sendiri. Kebahagiaan ayah dan ibu adalah memberi dan memberi dan memberi kepada anak-anak.Prinsip ‘menanam lebih banyak akan menuai lebih banyak’ memang tak terbantahkan. Semua agama pastilah menyetujuinya dan bahkan mengajarkan hal itu.
Untuk memberi lebih banyak diperlukan hati yang berkelimpahan, bukan uang atau harta yang berlimpah-limpah. Bahkan banyak bukti dimana orang kaya harta tetapi pelit-medit kedekit bilamana untuk bersedekah. Betapa banyak Kepala Daerah/Pejabat Tinggi yang rakus, semakin memperkaya diri tanpa peduli mencuri uang negara, korupsi, menyengsarakan rakyat.
Sering kita saksikan orang yang kurang duitnya masih memiliki hati berkelimpahan untuk saling menolong. Ada acara rutin di televisi yang menyentuh perasaan yaitu adegan seseorang yang meminta pertolongan dengan menjual sesuatu.
Bantuan dan pertolongan dimaksud biasa datang bukan dari orang berpunya yang duduk dalam mobil bagus nan mewah namun dari ibu yang menggendong keranjang pecel berkeliling menjual pecel 5000 rupiah per bungkus, atau dari tukang tambal ban motor di pinggir jalan.Jadi, kuncinya adalah hati yang bersih, yang memupuk sikap suka menolong, dan ketulusan memberi yang terbaik untuk orang/lingkungan yang membutuhkan. Kuncinya bukan pada uang banyak, harta berlimpah, atau tahta dan kekuasaan.
Bahkan harta dan kekuasaan sering mengaburkan atau membutakan hati nurani.Inilah kisah dua orang kakak beradik yang akan memberi kita pelajaran sangat berharga. Teman saya, Corporate Human Resources Development Director di suatu perusahaan yang memiliki Department Store besar di semua kota besar di Indonesia, berkisah kepada saya.
“Saya anak tertua dari lima bersaudara. Karena itu, oleh ayah kami yang sudah sangat tua dan sakit-sakitan, saya dititipi agar menjaga adik yang termuda, seorang remaja yang masih kuliah. Sebetulnya saya senang dan menerimanya dengan rasa tanggungjawab, tetapi adik ini sangat nakal.
Saya rasa karena masa puber anak muda, dia suka membeli pakaian dan asesori yang trendy se-enaknya. Tidak jarang meninggalkan hutang di toko-toko yang kenal dengan saya.
Dia ambil dan bilang nanti abangnya akan datang membayar. Jadilah saya yang ditagih-tagih mereka. Itu belum seberapa. Dia membawa motor dan mobil ugalan-ugalan, nyenggol kendaraan orang, saya lagi yang kena getahnya.
Kadang-kadang saya harus ke kantor polisi menyelesaikan masalah tersebut. Dalam kasus lain, suatu hari saya didatangin polisi bersama sepasang suami istri. Apa lagi yang terjadi? Adik saya membawa anak gadis, anak suami isteri itu, sudah tiga hari tidak pulang. Bapak dan ibu itu melaporkan hal ini kepada polisi. Saya tidak tau mereka kemana. Saya malu, khawatir, marah, takut, pokoknya saya stress”. HR Director ini menarik nafas dalam di depan saya. Masih dengan nada dongkol dia teruskan,
“Rasanya ingin saya basmi adik saya yang satu ini supaya enyah dari kehidupan saya, itu yang akan saya lakukan kalau tidak memikirkan kasihan kepada papa yang sudah dua tahun ditinggalkan mama kami. Saya sudah sering memarahi adik yang bandel itu. Saya sudah capek menasehatinya, lelah mengurus kenakalannya, kuliahnya pun tak kunjung selesai. Sudah beberapa bulan ini dia seperti pemuda liar, takut atau benci bertemu saya. Ketika saya di rumah dia pergi, ketika saya pergi baru dia pulang sebentar. Kami sudah seperti anjing dengan kucing, bagaimana saya tau dia dimana ketika ditanya polisi.” Ujarnya lagi dengan nada geram bercampur frustasi.
“Pendek cerita, ketika saya baru saja menyelesaikan secara baik-baik masalah adik saya dengan gadis itu, maka ketika itu pula putra saya baru saja diterima masuk universitas Trisakti di Grogol. Kami tinggal di Kelapa Gading. Anak saya besar tegap, minta dibelikan Honda Tiger seken, yang sudah dipakai satu atau dua tahun.
Tidak mau yang baru. Nah, dari sinilah saya merasakan pengalaman spiritual diawali. Hari Sabtu itu saya tekun membaca iklan motor di Pos Kota.
Akhirnya saya menemukan tiga iklan motor Honda Tiger yang sudah dipakai setahun lebih sedikit. Dari tiga iklan itu, pikiran saya hanya mau menelpon kepada yang satu saja. Saya stabilo, kemudian saya hubungi yang bersangkutan.
Kami membuat janji untuk bertemu esok hari, yaitu Minggu siang di alamatnya dalam iklan itu. Apa yang terjadi? Setelah berbasa-basi, kami saling membuka diri dan ternyata kami adalah konco lamo yang dulu sama-sama kuliah di Universitas Trisakti, di Grogol. Dua puluh lima tahun lebih kami tak bertemu. Teman saya itu menghilang pada awal tahun ke-empat perkuliahan kami.
Dia menghilang alias tidak kuliah lagi karena ayahnya, kepala keluarga dan satu-satunya pencari nafkah dalam keluarganya, meninggalkan dunia yang fana ini.
Suka tidak suka, dia sebagai anak lakil-laki dan anak tertua, terpaksa mengambil alih posisi kepala keluarga, sekaligus pencari nafkah untuk adik-adiknya. Disamping ibunya, ada tujuh adiknya, yang harus dia beri makan, dia sekolahkan dan sebagai kepala keluarga dia juga mengasuh yang tujuh orang itu.
Berat sungguh, namun dia jalani dengan ikhlas menggantikan tugas ayah yang mereka cintai. Dia bertekad, bekerja keras dengan menjadi pedagang kecil berjualan di Tanah Abang seraya tiada henti berdo’a agar adik-adiknya jangan putus kuliah ditengah jalan seperti dirinya. Saya sangat terharu.
Tiba-tiba saya bertanya mana isteri dan anaknya. Teman itu senyum sambil memejamkan mata dan menghirup nafas dalam dalam seolah-olah tidak ingin menjawab. Kami terdiam. Saya menunggu dan kemudian dia berujar bahwa dia belum menikah.
Dia terlalu sibuk mencari nafkah untuk kehidupan ibu serta adik-adiknya, tidak hanya untuk makan namun juga untuk biaya sekolah sampai kuliah. Kini, semua adiknya sudah sarjana. Luar biasa, ya sungguh hebat dia.
Dia tidak sempat memikirkan dirinya demi orang-orang yang disayanginya dan dia merasa sangat bahagia dengan perjalanan hidupnya itu.
Dia menjadi contoh atas pribadi yang berkelimpahan. Mata teman saya ini mulai berkaca-kaca. Pertama saya heran dan bertanya dalam hati, kenapa sang direktur ini sangat bersedih. Sepertinya dia mendengarkan bisikan dalam hati saya, sehingga dia bercerita kenapa dia menangis.
“Kenapa anak saya meminta dibelikan Tiger seken, kenapa saya hanya mau menelpon iklan yang satu itu, kenapa Tuhan mempertemukan saya dengan seorang teman yang berkorban begitu banyak tanpa mengeluh sedikitpun.
Dalam hati saya menangis menatap wajah teman yang sebaya saya itu; apalah artinya pengorbanan saya untuk seorang adik, seorang saja, yang selalu saya omelin, dibandingkan dengan teman ini yang mengayomi serta menafkahi tujuh adik dari kecil sampai sarjana?
Kalau saya tidak melihat potongan-potongan mazaiq tersebut dengan kaca mata spiritual, saya tidak akan mengerti mengapa Tuhan mengarahkan saya sampai saya merasa beruntung telah mendengarkan khotbah teman di rumahnya yang bersahaja di suatu Gang Husni Thamrin di bilangan Kebon Kacang.
Khotbah yang sungguh melecut diri saya yang mengeluh atas tanggung-jawab, pada hal hanya dititipi mengasuh seorang adik.
“Sejak hari itu, teman saya yang Human Resource Development Director di perusahaan besar itu, tidak pernah lagi mengomelin adiknya, tidak mau salah-menyalahkan, tidak mau berhenti menghormati adiknya.
Dia mengevaluasi dirinya bahwa adiknya semakin bandel karena komunikasi yang tersendat, korsleting, terjadi distorsi, sehingga adiknya semakin jauh darinya.
Adiknya merasa tidak disayangi, merasa tidak diterima, merasa tidak dihormati dan tidak dihargai sebagai seorang anak muda apa adanya. Kemudian, apa yang dilakukan si kakak ini terhadap adiknya? Perubahan.
Ya, perubahan cara berpikir dan bersikap menuju pribadi yang berkelimpahan. Kakaknya dulu yang berubah sehingga adiknya pun berubah. Dua tahun kemudian adiknya sudah menyelesaikan kuliah dengan nilai yang sangat bagus, IP 3,3 dari skala 4.
Poin yang harus kita petik adalah: Kalau anda ingin orang lain berubah, maka diri anda harus berubah terlebih dahulu.
Si kakak mulai menghormati dan memberi pujian kepada adiknya, baik ketika bertemu, ketika berbicara, ketika duduk bersama, maupun ketika akan berpisah. Saya bertanya, “Bagaimana cara anda menghormatinya?“Saya belajar bahwa inti dari sikap menghormati adalah ber-empati” katanya.
Sejak hari itu, HR Director di perusahaan besar itu, tidak pernah lagi memandang adiknya dengan sebelah mata. Bahkan sebaliknya tidak mau berhenti memberikan empatinya.
Dia mengintrospeksi dan mengevaluasi dirinya bahwa adiknya semakin bandel karena interaaksi yang buruk, terjadi distorsi, sehingga adiknya semakin takut padanya. Adiknya merasa tidak diterima, tidak dihargai.
(Bersambung )
(rbs/riaumag.com)