Riaumag.com , Jakarta –Pengusaha sektor pariwisata di Provinsi Riau masih menanti adanya aturan turunan dalam implementasi Undang-Undang Cipta Kerja di wilayah tersebut.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Riau Nofrizal mengatakan karena saat ini masih adanya pandemi Covid-19 dan belum adanya aturan turunan dari UU Cipta Kerja, pihaknya belum dapat mengukur berapa besar dampak aturan dari undang-undang tersebut.
“Sekarang masih pandemi corona dan UU Cipta Kerja juga belum otomatis berjalan ke daerah, karena belum ada aturan turunan seperti peraturan pemerintah atau peraturan daerah terkait, sehingga kami belum bisa melihat dan mengukur dampak langsungnya,” ujarnya, Kamis (3/6/2021).
Saat ini para pengusaha termasuk yang tergabung di PHRI, sedang berkonsentrasi agar dapat bertahan dan menyelamatkan bisnisnya dari tantangan di masa pandemi ini.
Dia menilai pelaku usaha tidak bisa menolak adanya UU Cipta Kerja, namun saat ini pemerintah harus menyampaikan informasi menyeluruh dan berkelanjutan, agar tujuan dari adanya aturan dapat dijalankan dan memberikan manfaat sesuai harapan lahirnya UU Cipta Kerja.
Untuk dampak aturan kepada sektor pariwisata khususnya perhotelan, Nofrizal mengakui akan ada pengaruh dari beberapa aspek seperti perizinan usaha itu berkaitan dengan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP), kemudian perizinan pembangunan gedung hotel berkaitan dengan Dinas PUPR.
“Karena itu mungkin pemerintah harus menjelaskan mana aturan dari UU Cipta Kerja yang mulai berlaku di Pekanbaru, bisa dari pemda atau dinas, sehingga pelaku usaha dapat menyesuaikan dengan aturan tersebut,” ujarnya.
Sementara itu Dede Firmansyah, pengelola destinasi wisata Horse Power Pekanbaru dan Wisata Dakwah Okura yang juga Wakil Ketua Bidang Kelembagaan dan Pemerintah DPP Asita menilai salah satu aturan turunan UU Cipta Kerja sektor pariwisata diantaranya penghapusan izin rekomendasi bagi tenaga kerja ahli warga negara asing yang ingin masuk ke bisnis pariwisata di Indonesia.
Dede menyebutkan adanya aturan ini dapat membuat persaingan antara pelaku bisnis pariwisata lokal dengan pemain asing semakin berat. Padahal sebelum adanya aturan turunan ini saja, praktik bisnis pariwisata asing di Indonesia sudah berjalan massif.
“Contohnya dulu saat ada penerbangan langsung dari China ke Bali, itu agen travelnya asal sana bisa langsung membawa rombongan wisatawan ke Bali, tanpa syarat harus menggandeng mitra travel lokal, setelahnya saat mau pulang beli oleh-olehnya di toko yang menjadi mitra travel China tersebut jadi mulai dari awal sampai akhir perjalanan wisatanya dikuasai oleh asing,” ujarnya.
Padahal menurutnya bila agen wisata Indonesia ingin menjalankan bisnis di negeri orang, ada banyak aturan yang harus diikuti. Misalnya di Malaysia, untuk berjualan paket wisata ke Tanah Air harus menggandeng travel agen lokal dan tidak boleh membawa perusahaan sendiri saat membawa tamu ke Indonesia.
Dengan adanya aturan UU Cipta Kerja ini dinilai pemerintah terlalu longgar dan memberi ruang sangat luas bagi pelaku bisnis pariwisata asing untuk menjalankan usaha di dalam negeri.
Karena itu pihaknya meminta pemerintah membuat aturan turunan yang dapat membuat adanya pelibatan agen dan travel lokal pada bisnis pariwisata yang dijalankan oleh pekerja dan perusahaan pariwisata asal luar negeri. s
umber : bisnis.com