Oleh : Haidir Fitra Siagian
Riaumag.com , Australia
Sembilan tahun lalu tepat pada tanggal yang sama dengan hari ini, 9 Januari 2013, akun media sosial saya mengingat beberapa kenangan yang indah. Di antaranya adalah dalam rangka penelitian untuk penyelesaian disertasi pada Pusat Pengajian Media dan Komunikasi FSSK UKM Malaysia, dibawah bimbingan Prof. Mohd. Yusof Hj. Abdullah, Prof. Normah Mustaffa, dan Prof. Fauziah Ahmad. Saat itu, saya harus berkeliling naik motor ke penjuru Kota Makassar juga sebagian wilayah Kabupaten Gowa. Pagi-pagi sekali saya sudah berangkat ke kampus UIN Alauddin, Samata. Kemudian ke kampus Unismuh Makassar.
Lalu berturu-turut ke kantor ICMI Sulsel di Jalan Sunu, kampus UMI, kampus Unhas, kantor Pengurus Wilayah NU Sulsel, hingga ke perumahan dosen Unhas Tamalanrea. Terakhir pada sore hari berada di kantor MUI Sulsel, kompleks Masjid Raya Makassar.
Saya ke sana untuk menemui para responden menyerahkan soal selidik untuk diisinya. Juga mewawancarai beberapa informan mengenai subyek penelitian. Penelitian ini terkait dengan partisipasi dan kesan tokoh masyarakat kala berkomunikasi dengan aktivis politik pun pejabat pemerintah di Sulawesi Selatan.
Mereka yang menjadi responden dan informan dalam penelitian saya adalah para opinion leader atau pemuka pendapat yang tergabung dalam organisasi kemasyarakatan Islam tingkat Provinsi Sulawesi Selatan. Mulai dari pengurus MUI, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Wahdah Islamiyah, ICMI, Aisyah dan Muslimat NU.Selama hampir dua bulan saya mengunjungi mereka satu per satu. Jumlahnya kurang lebih 92 orang. Tentu ada suka dan dukanya.
Yang lebih banyak adalah sukanya, misalnya oleh informan saya ditraktir makan siang dan mendapat buku dari mereka. Hikmah lainnya adalah semakin banyak kenalanku dari orang-orang penting yang sebagian di antaranya adalah pejabat publik dan tokoh penting dalam organisasi kemasyarakat Islam.
Bahkan ada di antara mereka yang kemudian menjadi tetangga kami di Kompleks Bakung Balda Sakinah Gowa, yakni Ustaz Dr. H. Qasim Saguni, yang sekarang menjadi pimpinan tertinggi Dewan Pengurus Pusat Wahdah Islamiyah.Yang dukanya juga ada, namun ringan-ringan saja. Misalnya ketika saya sudah ke rumahnya, ternyata soal selidiknya belum diisi. Dia lupa taruh dimana. Jadi saya berikan lagi lembaran survey atau soal selidiknya, lalu disuruh datang kembali beberapa hari kemudian. Ada juga yang tidak berkenan menjadi responden dengan satu dan lain hal.
Padahal saya sudah datang ke rumahnya berhujan-hujan naik motor. Tapi bagi saya itu tidak apa-apa, anggaplah bagian dari proses yang mesti dilalui.Untuk mendapat lembaran soal selidik yang diisi, ada kalanya saya harus menunggu hingga beberapa jam. Sebab informan sedang rapat atau ada urusan bersama koleganya.
Saya menunggu di ruang tunggu depan kantornya. Pernah juga saya disarankan untuk mengikuti rapat rutin pengurus Ormas atas persetujuan pengurusnya. Setelah rapat saya berdiskusi dengan beberapa pengurus.
Pada saat akan pulang, staf Ormas tersebut menyodorkan amplop kepada saya. Isinya biaya transportasi sekian puluh ribu Rupiah. Ternyata sudah menjadi kebijaksanaan organisasi, siapa saja yang hadir rapat, diberikan biaya pengganti ongkos atau semacam pengganti pembeli bensin.
Ada juga responden yang mengajak saya diskusi panjang lebar. Memberikan nasihat dan menceritakan pengalamannya selama sekolah menuntut ilmu di luar negeri.
Jadi kedatangan saya ke rumahnya, seolah-olah mengingatkannya ketika masih berjuang di negeri orang. Pada kesempatan yang berbeda, informan lain memberi petuah yang menguatkan hati saya untuk terus berjuang.
Beliau memahami dalam menuntut ilmu tidak mudah, apalagi untuk meraih doktor, perlu kesabaran dan ketekunan.Di antara informan yang sempat saya datangi adalah (almarhum) AGH Sanusi Baco, di rumahnya Jalan Kelapa Tiga, Makassar. Beliau saat itu menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Selatan. Kurang lebih setengah jam saya bersama dengan beliau. Beliau menjawab beberapa bertanyaan yang saya ajukan. Menjelang pamitan, beliau bertanya tentang keluarga saya.
Saat itu istri dan anak-anak sedang berada di Adelaide Australia Selatan. Istri mengambil program magister di University of Adelaide. “Jadi sendiri di sini?”, tanyanya. “Iya ustaz”, jawabku. “”Perpisahan sementara dengan isteri itu indah seperti memandang bunga.
Coba lihatlah bungamu setiap hari, tak ada yang indah. Kalau kau tinggalkan bungamu hingga beberapa bulan, begitu kamu melihatnya, sungguh indah nan mempesona”, nasihat beliau. Insya Allah, almarhum Kiai Sanusi Baco husnul khatimah.Di antara pengurus Ormas Islam lainnya yang menjadi responden dan informan yang sempat saya temui, saat ini telah berpulang ke rahmatullah.
Sebagian yang sempat saya ingat adalah alm. Prof. Basyir Syam, almh. Dr. Hj. Nurul Fuadi, alm. Andi Hakkar Jaya, dan almh. Syamuez Sahilimah. Kemudian ada juga alm. Dr. Abdullah Renre, alm. KH. Nasruddin Razak, dan terakhir yang baru saja berpulang adalah ustaz KH. Dahlan Yusuf. Kepada mereka semua responden dan informan penelitian saya yang telah meninggal dunia ini, semoga Allah Swt. memberikan tempat yang mulia di sisi-Nya.
Dari 92 responden dan informan penelitian dimaksud, selain yang telah meninggal dunia, akun media sosial saya mengingatkan tiga nama yang tercatat dan masih hidup sampai sekarang. Ketiganya adalah Prof. Mustari Mustafa, Nurhidat Said, dan Prof. Irwan Akib. Seingat saya, mereka bertiga ikut mengisi survey penelitian dalam status sebagai pengurus ICMI dan atau pengurus MUI Sulawesi Selatan.
Kepada mereka saya ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya. Ucapan yang saya pun kembali saya sampaikan kepada semua informan dan responden maupun pihak lain yang namanya tidak dapat disebut satu per satu.
WassalamWollongong, 18 Januari 2022Penulis adalah Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar / Ketua PRIM NSW Australia
(riaumag.com)