Riaumag.com —Bertahun-tahun ruang kendali udara di Kepulauan Riau dan Natuna di bawah kendali Singapura. Sekarang kendali itu rela diserahkan Singapura kepada Indonesia. Ada maksud apa? Indonesia mesti waspada.
Presiden Jokowi mengumumkan resmi mengambil alih ruang kendali udara (FIR – Flight Information Region) di Kepulauan Riau termasuk Natuna melalui perjanjian kesepakatan bersama dengan Singapura. Dengan demikian, ruang lingkup FIR Jakarta akan meliputi seluruh teritorial Indonesia.
“Selama penandatanganan FIR (ruang kendali udara) maka ruang lingkup FIR Jakarta akan melingkupi seluruh teritorial Indonesia terutama Natuna dan Riau,” ujar Jokowi dalam konferensi pers daring di akun YouTube Sekretariat Presiden, Selasa 25 Januari 2022.
Mulanya FIR di Kepulauan Riau dan Bintan dikuasai Singapura, sehingga jika ingin melintasi wilayah udara tersebut harus melalui izin negara-kota itu. Setelah diambil alih Indonesia, FIR sepenuhnya dikelola Jakarta.
Selain FIR, Jokowi juga menyambut baik perjanjian ekstradisi dan sejumlah kerjasama kedua negara di bidang Politik Hukum dan Keamanan.
Upaya negosiasi Indonesia dengan Singapura mengambil alih FIR sudah dilakukan sejak 1990-an hingga akhirnya bisa terwujud saat ini.
FIR Kepulauan Riau diketahui berada di bawah kendali Singapura pada Maret 1946. Negara-kota itu menguasai sekitar 100 mil atau sekitar 160 kilometer laut wilayah udara Indonesia.
Keputusan itu diambil melalui International Civil Organization, karena Jakarta saat itu belum memiliki kompetensi dari berbagai aspek di usianya yang baru menginjak satu tahun merdeka.
Baca juga: Jokowi Teken Perjanjian Ekstradisi, Singapura Sudah Tak Aman Bagi Koruptor Sembunyi
Salah satu implementasi penguasaan FIR oleh Singapura adalah saat penerbang TNI AU harus mengantongi izin dari menara kendali penerbangan Bandara Internasional Changi untuk bisa lepas-landas atau mendarat hingga menentukan rute, bahkan ketinggian dan kecepatan.
Ruang udara di Batam dan Natuna adalah bagian dari FIR Blok A. Selain itu, terdapat pula Blok B dan C yang berada di atas perairan Natuna.
Sektor A mencakup wilayah udara di atas 8 kilometer sepanjang Batam dan Singapura. Sektor B mencakup kawasan udara di atas Tanjung Pinang dan Karimun.
Sementara itu, sektor C yang berada di wilayah udara Natuna dibagi menjadi dua, Singapura mengendalikan di atas 24.500 kaki, dan Malaysia di bawah 24.500 kaki.
Dilansir dari Kompas edisi Senin 24 Januari 2022, Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Novie Riyanto mengatakan bahwa penyesuaian FIR penting salah satunya untuk meneguhkan pengakuan internasional atas Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki kedaulatan penuh dan eksklusif di ruang udara di atas wilayahnya.
Hal ini sesuai dengan hukum internasional, terutama Konvensi Chicago 1944 dan Konvensi PBB tentang hukum Laut UNCLOS 1982.
Pengambilalihan FIR, kata Novie, merupakan capaian signifikan yang diraih RI setelah berbagai upaya negosiasi sejak tahun 1990-an.
Ia mengatakan, hal itu merupakan aktualisasi langkah konkret pemerintah dalam mewujudkan mandat nasional dan internasional.
Mandat nasional tertuang dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Sementara mandat internasional tertuang dalam Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) Anexx 11 Konvensi Chicago Tahun 1944 dan Keputusan ICAO pada Pertemuan Ketiga Navigasi Penerbangan Kawasan Asia/Pasifik Tahun 1993.
“Untuk mempercepat implementasi persetujuan ini pemerintah secara intensif akan melakukan proses lanjut sesuai perundang-undangan yang berlaku serta ketentuan ICAO,” kata Novie.
RI harus waspada
Pengamat hukum internasional mengingatkan agar Indonesia waspada terhadap taktik Singapura di balik perjanjian ruang kendali udara (FIR) dan ekstradisi yang disepakati Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Lee Hsien Loong, Selasa 25 Januari 2022.
“Indonesia perlu waspada dengan strategi Singapura,” ujar pengamat hukum internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, melalui siaran pers yang diterima CNNIndonesia.com.
Hikmahanto membaca langkah Singapura ini melalui tiga perjanjian yang disepakati dengan Indonesia, yaitu FIR, ekstradisi, dan Defence Cooperation Agreement (DCA) atau Kesepakatan Kerja Sama Pertahanan.
Indonesia dan Singapura sebenarnya sudah pernah meneken perjanjian ekstradisi dan DCA pada 2007 lalu. Namun, perjanjian itu harus melalui proses pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terlebih dulu sebelum diresmikan.
Pembahasan di DPR ini terganjal karena saat itu, perjanjian ekstradisi dan DCA harus disepakati dalam satu paket. Sementara itu, Indonesia banyak dirugikan dalam perjanjian DCA.
Baca juga: Disebut Calon Kepala IKN Pilihan Jokowi, Ini Tanggapan Risma, Ridwan Kamil, Ahok dan Bambang
Melihat rekam jejak kebuntuan pembahasan di DPR itu, Hikmahanto menduga Singapura kini juga menawarkan kesepakatan FIR dengan sistem paket seperti dulu.
“Singapura berstrategi bila perjanjian pertahanan bisa berlaku efektif, maka Singapura bersedia untuk menyerahkan kendali atas FIR Kepulauan Riau ke Indonesia, padahal Singapura telah berhitung secara cermat bahwa perjanjian pertahanan akan ditentang oleh publik, bahkan oleh DPR,” katanya.
Ia kemudian berkata, “Bila memang perjanjian pertahanan ditentang untuk disahkan nantinya, maka Singapura akan tetap memegang kendali atas FIR di atas Kepulauan Riau. Artinya, perjanjian pengendalian FIR ke Indonesia tidak akan pernah efektif.”
Jika perkiraan ini benar, Hikmahanto menganggap perjanjian ekstradisi yang tinggal menunggu ratifikasi menjadi tidak penting dari sisi pencapaian.
“Perjanjian ekstradisi itu diduga muncul dalam pembahasan karena diminta oleh pemerintah Indonesia karena Singapura memunculkan perjanjian pertahanan yang dikaitkan dengan perjanjian penyerahan kendali FIR,” tutur Hikmahanto.
Menutup pertanyaannya, Hikmahanto berkata, “Dalam konteks demikian, perjanjian ekstradisi yang ditandatangani ulang bukanlah suatu pencapaian (achievement).”