Tulisan “76 Tahun Merdeka: Utang Kian Membubung dan Mencekik” yang diposting 18 Agustus lalu cukup banyak mendapat tanggapan. Salah satu yang masuk lewat kolom komentar di blog ini mengatakan:
“Ya, lihat juga donk utangnya untuk apa? Kalau utangnya adalah untuk membangun infrastructure diberbagai wilayah ya malah you harus bersyukur donk !! Lihat bagaimana lincahnya konesksitas lintas Sumatera sa’at ini setelah sebagian besar jalan toll sudah terhubung!! Bagaimana di NTT terbangun 8 bendungan untuk berbagai kebutuhan dasar disana!! Penambahan jumlah ruas toll lintas pulau jawa yg sangat significant yg membuat akselerasi kegiatan perekonomian berjalan begitu cepat dan masih banyak lagi infrastructure lain diseluruh Indonesia. Bicara itu harus juga berbanding lurus dengan realitas lapangan !! Kalau you org dagang you pasti sangat bersemangat manakala banyak modal masuk untuk Pembangunan berbagai infrastructure, namun sayangnya maybe you hanya bisa kritik saja.”
Mari kita lihat ke mana peningkatan utang yang memungkinkan peningkatan belanja pemerintah lebih cepat ketimbang penerimaan pemerintah dari pajak. Apakah benar seperti komentar di atas? Serahkan pada data untuk menjawabnya.

Selama pemerintahan Jokowi, lonjakan belanja paling tinggi bukan untuk pembangunan infrastruktur. Karena infrastruktur “murni” sejatinya tidak habis dipakai dalam satu tahun, maka alokasinya akan tercermin dari belanja modal. Kita bisa lihat sendiri dengan kasat mata pada tabel di atas bahwa belanja modal selama kurun waktu 20014-2019 hanya meningkat sebesar 21 persen. Peningkatan terbesar ternyata untuk bayar bunga utang (106 persen). Menyusul belanja barang yang naik 89 persen, lalu belanja pegawai 54 persen.
Belanja sosial hanya naik sebesar 15 persen.
Jika kita keluarkan pos belanja hibah dan belanja lainnya, maka setelah pandemi pun–sebagaimana terlihat dari perkembangan 2019-2022–peningkatan belanja terbesar masih dipegang oleh pos pembayaran bunga utang. Pos bantuan sosial menduduki posisi kedua dengan kenaikan 30 persen. Tentu kita bisa memahami kenaikan ini mengingat pemerintah harus lebih banyak mengalokasikan dana untuk membantu masyarakat yang terdampak pandemi.
Kondisi primary balance yang selalu negatif selama pemerintahan Jokowi menunjukkan pembayaran bunga utang memang sudah sangat membebani dan semakin berat. Praktik “gali lubang, tutup lubang” tak terhindari sepanjang pemerimaan pajak lebih lambat ketimbang pertumbuhan ekonomi.

Lalu, dari mana dana untuk pembangunan infrastruktur yang nyata-nyata kasat mata dan telah dirasakan oleh masyarakat luas? Sebagian besar dana untuk pembangunan infrastruktur tidak berasal dari APBN. Pemerintah banyak menugaskan BUMN untuk mencari dana sendiri di pasar dengan berutang ke bank maupun menerbitkan obligasi. Oleh karena itu, utang BUMN nonkeuangan turut melonjak. Pada akhir Maret 2021 telah melampaui satu kuadriliun rupiah.
Ada pula pelibatan swasta dalam pembangunan infrastrutur seperti skema kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KBPU).
Semoga penjelasan ringkas ini bisa menambah jelas duduk perkara tentang utang pemerintah,
sumber : faisalbasri.com