RIAUMAG.COM , PEKANBARU – Tiga orang saksi dihadirkan dalam sidang dugaan korupsi pembangunan Hotel Kuansing di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Pekanbaru, Kamis (19/9/2024). Sebagai terdakwa eks Bupati Kuansing, Sukarmis.
Tiga saksi itu yakni Ahli Konstruksi Bangunan Bagus Sudaryanto dari Ikatan Arsitektur Indonesia (IAI) Yogyakarta, Ahli Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum (FH) Universitas Riau (Unri) Dessy Artina dan Ahli Hukum Pidana FH Unri, Erdianto.
Di hadapan majelis hakim ysng dipimpin Jonson Parancis, para saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) menjelaskan merusakan Hotel Kuansing yang merugikan negara Rp22,6 miliar itu.
Bagus Sudaryanto dalam keterangannya memaparkan, selaku Tim Audit Konstruksi, pihaknya melakukan peninjauan langsung ke Hotel Kuansing. Metode digunakan dengan cek visual terhadap bangunan.
“Tentunya mencocokkan dengan RAB (Rencana Anggaran Biaya) yang telah kami pegang. Kami melakukan pengukuran dan pengujian dengan meraba, memukul, menginjak terhadap bangunannya,” jelas Bagus.
Dari hasil kesimpulan tim lanjutnya, ditemukan tiga kerusakan dalam bangunan hotel itu. Mulai dari kerusakan ringan, sedang dan berat.
Bagus mengakui, pihaknya mengambil sejumlah sampel seperti, tembok dalam diameter 1 meter persegi yang terdiri dari, batu bata, semen, acian, pasir dan cat. Setelah dicek, ternyata dinding atau tembok beton itu rusak berat, dan ada yang telah roboh.
“Secara keseluruhan dari hasil pengecekan bangunan hotel itu, ditemukan kerusakan total sekitar 52,8 persen. Kesimpulannya dengan persentase itu, artinya bangunannya rusak berat,” tegas Bagus.
Selanjutnya, saksi Dessy Artina menerangkan, apabila ada kegiatan di kabupaten/kota secara administrasi merupakan kewenangan kepala daerah. Kewenangan ini tentunya telah diatur dalam Undang-undang.
Menurutnya, jika terjadi sesalahan administrasi atau mal administrasi yang menimbulkan kerugian negara maka kewenangan dan tanggung jawabnya tidak lepas dari kepala daerah.
“Apabila mal administrasi, artinya ada pidana korupsi. Kepala daerah yang melakukan un-prosedural dan menimbulkan kerugian negara, tentu saja diminta pertanggungjawabannya karena kewenangan itu melekat kepadanya,” kata Dessy.
Dessy menambahkan, terjadinya un-prosedural oleh kepala daerah akibat adanya penyalahgunaan wewenang. Kemudian, adanya prosedur yang tidak sah, kelalaian atau kesembronoan kepala daerah.
Hal senada juga diungkapkan Erdianto. Dia mengungkapkan keikutsertaan (penyertaan-red) kepala daerah yang mengakibatkan terjadinya kerugian negara adalah merupakan tindak pidana korupsi.
Penyertaan ini dikuatkan dalam Pasal 55 KUHPidana karena tindak pidana korupsi ini tidak dilakukan sendiri.
“Dalam pasal itu menjelaskan, yang dimaksudkan ikut serta atau penyertaan itu terdiri dari dari orang yang melakukan (Pleger). Kemudian, orang yang menyuruh atau penganjur melakukan (doen plegen),orang yang turut melakukan (medepleger),” terangnya.
JPU yang dipimpin Andre Anroniis mempertanyakan jika ada kegiatan un-prosedural yang menimbulkan kerugian negara, apakah kepala daerah turut bertanggungjawab atas tindak pidana yang terjadi.
“Apabila ada keikutsertaan kepala daerah yang tidak melaksanakan kegiatan sesuai peraturan dan perundangan yang berlaku, maka dia wajib diminta pertanggungjawabannya ” tegas Erdianto.
JPU dalam dakwaan menyebutkan, perbuatan korupsi Sukarmis itu dilakukannya bersama-sama dengan Kepala Bappeda Kuansing Hardi Yakub (tuntutan terpisah) dan Suhasman Kabag Pertanahan Pemkab Kuansing Tahun 2009- 2016 (tuntutan terpisah).
Kasus ini berawal ketika adanya kegiatan pembangunan Hotel Kuantan Singingi. Dananya bersumber dari APBD Tahun Anggaran 2013 dan 2014.
Untuk pembangunannya, Sukarmis bersekongkol dengan Susilowadi (almarhum) dalam pengadaan lahan hotel. Terdakwa menyetujui pembelian lahan milik Susilowadi.
Selanjutnya, terdakwa memerintahkan Suhasman selaku Kabag Pertanahan untuk berkoordinasi dengan Susilowadi. Tujuannya, untuk mempermudah proses ganti rugi lahan hotel.
Tidak hanya itu, terdakwa memerintahkan untuk membuatkan perencanaan pembangunan hotel meski tidak melalui Musrenbang.
Terdakwa juga meminta agar kegiatan pembebasan lahan hotel itu, disisipkan dalam Rencana Kegiatan Pemerintah Daerah (RKPD) Tahun 2012. Seolah-olah, pengadaan lahan dan pembangunan Hotel Kuansing masuk dalam perencanaan.
Kemudian, terdakwa juga mengubah lokasi pembangunan hotel yang awalnya di samping Wisma Jalur diubah ke samping Gedung Abdur Rauf, milik Susilowadi. Pemilihan lokasi ini, tanpa ada studi kelayakan ahli.
Namun kenyataannya, pembangunan hotel ini tidak selesai. Berdasarkan hasil audit, ditemukan kerugian negara sebesar Rp22.637.294.608.
Akibat perbuatan terdakwa, JPU menjeratnya dengan Pasal 2 ayat (1) dan 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Dalam perkara ini, sebelumnya majelis hakim Pengadilan Tipikor Pekanbaru telah menghukum dua bawahan Sukarmis. Keduanya adalah, Kepala Bappeda Kuantan Singingi (Kuansing), Hardi Yakub dan Suhasman mantan Kabag Pertanahan Pemkab Kuansing Tahun 2009- 2016.
Keduanya divonis selama 12 tahun penjara oleh majelis hakim yang dipimpin Zefri Mayeldo Harahap dengan anggota Yuli Artha Pujayotama dan Rosita, Kamis (13/6/24) lalu.