Riaumag.com , Jakarta –Sembilan pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) hadir memenuhi undangan Presiden Joko Widodo di Istana Bogor pada 13 Agustus lalu. Hanya Wakil Ketua MPR dari PKS Hidayat Nur Wahid yang tidak ikut.
Selama kurang lebih dua jam, Jokowi yang didampingi Menteri Sekretaris Negara Pratikno dan Sekretaris Kabinet Pramono Anung, berdiskusi banyak hal dengan para tamunya. Termasuk tentang pencantuman Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) lewat amendemen UUD 1945.
Ketua MPR Bambang Soesatyo yang menyampaikan kepada presiden mengenai hal itu. Dia mengatakan bahwa salah satu rekomendasi MPR periode 2014-2019 adalah usulan melakukan amendemen UUD 1945 untuk memperkuat kewenangan MPR menetapkan PPHN.
Lewat keterangan pers, Bamsoet menjamin amendemen konstitusi hanya terbatas pada pencantuman kewenangan MPR menetapkan PPHN. Namun, menurutnya, Jokowi cemas ada misi terselubung dibalik amendemen UUD 1945.
Misalnya soal kemungkinan partai politik di MPR/DPR mengubah UUD 1945 agar presiden bisa menjabat tiga periode atau masa jabatan jadi lebih dari lima tahun. Jokowi tidak mau dan khawatir itu terjadi.
“Beliau mempertanyakan apakah amendemen UUD 1945 tidak berpotensi membuka kotak pandora sehingga melebar, termasuk mendorong perubahan periodisasi presiden dan wapres menjadi tiga periode. Saya tegaskan kepada Presiden sangat rigid dan kecil kemungkinan menjadi melebar,” kata Bamsoet lewat keterangan pers.
Giliran Wakil Ketua MPR dari PKB Jazilul Fawaid yang bicara. Salah satu pimpinan MPR bercerita Jazilul meminta Jokowi menanggapi isu yang berkembang terkait perpanjangan masa jabatan Presiden sampai 2027.
Saat dikonfirmasi oleh CNNIndonesia.com, Jazilul Fawaid hanya menjawab, “Kalau Covid-19 masih terus berdampak sampai 2024, ada penutupan masjid, tempat ibadah dan pasar. Kalau ini terus terjadi sampai 2024, tentu Tempat Pemungutan Suara (TPS) otomatis juga ditutup. Saya pikir ada problem ketatanegaraan yang harus diselesaikan.”
Wakil Ketua MPR dari Partai Demokrat Syarief Hasan mendapat giliran berikutnya. Syarief menyampaikan sikap penolakan fraksinya atas usulan amendemen UUD 1945 mengenai pencantuman kewenangan MPR untuk menetapkan PPHN.
Syarief mengatakan Demokrat pun menolak masa jabatan presiden diperpanjang. Secara tegas, dia mengatakan amendemen UUD 1945 belum perlu dilakukan.
Syarief lantas mempertanyakan sikap Jokowi ihwal rencana amendemen UUD 1945. Dulu, kata dia, Jokowi pernah lantang menolak amendemen karena bisa melebar ke mana-mana. Tak hanya soal PPHN.
“Apakah sikap Pak Presiden sekarang masih sama seperti dulu menolak?” kata Syarief kepada CNN Indonesia.com.
Seorang pimpinan MPR yang hadir, namun enggan disebutkan identitasnya, sempat menyatakan dukungannya agar amendemen UUD 1945 dilakukan dan turut mengubah masa jabatan presiden agar bisa sampai 2027. Alasannya, partainya tak punya dana untuk mengikut pemilu 2024 mendatang.
Salah satu pimpinan MPR dari PPP Arsul Sani membeberkan respons Jokowi soal usulan amendemen UUD 1945 dan perpanjangan masa jabatan saat pertemuan di istana.
Arsul menyebut Jokowi ingin MPR mempersiapkan dengan matang jika benar-benar ingin melakukan amendemen konstitusi. Terutama bagaimana menanggapi persepsi publik agar Jokowi tidak dituding yang bukan-bukan.
“Presiden menyampaikan soal amendemen itu adalah domain MPR dan yang menentukan adalah ketum ketum partai politik,” kata Arsul.
“Soal amendemen ini pasti ramai isunya macam-macam maka Presiden minta kalau itu mau dilaksanakan, maka MPR harus mempersiapkan dengan matang. Presiden khawatir bahwa nanti beliau yang akan dituduh mendorong amendemen itu,” sambungnya.
Setelah pertemuan dengan pimpinan MPR selesai, Presiden melanjutkan pembicaraan empat mata dengan Ketua MPR Bambang Soesatyo. Bamsoet tidak menjawab saat dimintai konfirmasi soal ini.
Lampu Hijau Jokowi
Wakil Ketua MPR Arsul Sani mengatakan, Bamsoet masih berada di Istana saat pimpinan lainnya bubar. “Saya tidak mengetahui persis, tapi memang waktu saya pulang Ketua MPR belum pulang dari Istana,” kata Arsul.
Selang tiga hari kemudian, atau pada 16 Agustus, Presiden Jokowi dan Ketua MPR Bambang Soesatyo pidato dalam Sidang Tahunan MPR jelang peringatan HUT RI. Keduanya sama-sama menyinggung soal PPHN.
Lewat pidatonya, Bamsoet menyatakan bahwa perlu ada amendemen terbatas UUD 1945 agar MPR ditambah kewenangannya, yakni menetapkan PPHN.
Dalam pidato di momen yang sama, Jokowi mengapresiasi MPR yang memiliki agenda untuk membentuk PPHN. Seolah lampu hijau dari Jokowi bagi MPR untuk melanjutkan pembahasan pembentukan PPHN. Namun, Jokowi tidak menyebut secara gamblang bahwa itu bisa dilakukan lewat amendemen konstitusi.
“Agenda MPR untuk mengkaji substansi dan bentuk hukum Pokok-Pokok Haluan Negara juga perlu diapresiasi untuk melandasi pembangunan Indonesia yang berkelanjutan lintas kepemimpinan,” kata Jokowi saat pidato di Sidang Tahunan MPR HUT RI ke-76 pada 16 Agustus.
Golkar Bergolak, PDIP Dukung
Sikap fraksi partai politik di MPR terbelah menanggapi usulan amendemen UUD 1945. Empat fraksi yakni Golkar, Nasdem, Demokrat dan PKS sepakat menolak usulan amendemen meski hanya sebatas pemberian kewenangan MPR untuk menetapkan PPHN.
Salah satu petinggi partai Golkar mengatakan, Ketua Umum Airlangga Hartarto sampai menelepon Bambang Soesatyo setelah peringatan Hari Konstitusi 18 Agustus 2021. Airlangga menegur Bamsoet karena terlalu aktif menyuarakan soal amendemen konstitusi.
Padahal sejak awal Golkar memutuskan menolak usulan amendemen UUD 1945 dan perpanjangan masa jabatan Presiden. CNNIndonesia.com telah berusaha mengkonfirmasi kepada Airlangga Hartarto, namun tidak direspons.
Ketua Fraksi Golkar MPR Idris Laena mengatakan perbedaan sikap politik Bamsoet dapat dimaklumi mengingat Bamsoet menjabat sebagai Ketua MPR RI yang mewakili kepentingan beragam fraksi partai.
“Soal sikap Bamsoet kami memahami beliau adalah Ketua yang notabene speaker-nya MPR. Tetapi sebagai kader Golkar, kalau partai sudah punya keputusan, ya Bamsoet harus ikut perintah partai,” kata Idris.
Partai Nasdem juga turut menolak amendemen UUD 1945 dan perpanjangan masa jabatan Presiden. Akhir Juni kemarin, Ketua Umum Nasdem Surya Paloh sampai menggelar pertemuan via daring dengan beberapa anggota fraksi Nasdem.
“Di tengah pandemi seperti ini tentu konsultasi publik yang masif yang kita harapkan sulit dilaksanakan secara optimal, ada baiknya kita menunggu pandemi mereda sehingga belum perlu untuk dilakukan amandemen konstisusi pada saat sekarang ini,” kata Taufik Basari, Ketua Fraksi NasDem.
Sementara itu, PDIP tetap pada pendiriannya. Mereka ingin ada suatu pedoman pembangunan seperti Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) di masa lalu. Oleh karena itu, amendemen UUD 1945 perlu dilakukan.
PDIP bahkan menuangkan keinginan amendemen konstitusi dalam Rekomendasi Kongres V yang digelar di Bali, pada 10 Agustus 2019 silam. Dari hasil rekomendasi Kongres, PDIP mengusulkan amendemen terbatas UUD 1945 untuk menambah kewenangan MPR menetapkan GBHN.
Saat ditanya soal usulan perpanjangan masa jabatan Presiden sampai 2027 melalui pintu amendemen, Wakil Ketua MPR dari PDIP menegaskan itu bukan agenda partainya.
“PDIP tetap konsisten pada agenda amandemen terbatas UUD 1945 hanya untuk menghadirkan kembali GBHN melalui penambahan kewenangan MPR. Di luar perubahan terbatas itu, bukan agenda PDIP. Kita tidak improvisasi yang lain”, kata Basarah.
sumber : cnnindonesia.com