Oleh : A.Malik Nasrulloh , MM
Riaumag.com , Bandung
Therapy jiwa #1 –baca pelan-pelan saja
Saya awali dengan do’a semoga kita semua dalam kondisi baik-baik saja… Aamiin
Tulisan ini merupakan hasil perenungan saya –yang sedang mencoba mempelajari teknik optimalisasi potensi manusia- tentang berbagai hal. Khususnya kondisi negeri akhir-akhir ini.
Kita membaca fenomena-fenomena ini sebagai kesempatan untuk mendapatkan pembelajaran. Kaidah dasar pelajarannya, tantangan adalah peluang untuk lahirnya kekuatan.
Jadi sejatinya, jangan minta untuk tidak mendapat ujian, namun bermohonlah agar kita diluluskan atas semua tantangan. Sepakat kawan?
Ide tulisan ini pun diperkuat dengan release resmi WHO yang merubah penyebutan Social Distancing (yang selama ini populer) menjadi Physical Distancing. So, ayo ubah kosakata dan posting-posting kampanye kita sebelumnya. yes?
Dengan physical distancing itulah, kita diingatkan bahwa yang berjarak hanya fisik, tidak sampai menjauhkan solidaritas sosial. Alhamdulillah untuk hal ini, saya yakin ga terlalu sulit disepakati. Toh kita setuju (sepertinya) bahwa semua akan selesai dengan kerjasama seluruh elemen negeri. Harusnya dengan adanya musuh bersama, semua akan bersatu dalam melawannya. (harusnya lho ya, Catet!)
Namun, kerjasamanya bagaimana? katanya banyak bidang yang bisa dijadikan sebagai media kerjasama itu. Bisa berbagi informasi, berbagi rejeki untuk APD, saling berbagi informasi tentang Covid 19, berbagi komoditas kesehatan, serta terutama berbagi empati atas keadaan.
Lalu apalagi?
Nah, itu poin tulisan ini.
Sadarkah kawan, seringkali kita adalah pembaca pasif di grup WA, pengamat pasif di FB atau hanya pengagum setia postingan selebgram di IG. (atau paling banter pamer berita diri sendiri disana).
Padahal, akan lebih bermakna jika bersuara. Yap, apapun suara kita akan memberi nuansa dari grup dimana kita ada. Terlepas sesederhana apapun komentar kita, Sungguh!
Ditengah kondisi sekarang kita perlu masukan dari beragam sudut pandang, dari pihak yang expert sampai -maaf- yang lupa kalau dirinya ahli. Hal ini penting agar pihak yang berkepentingan memiliki keutuhan sudut pandang. Jika sebagian yang bersuara dengan komen atau apapun maka bisa jadi hanya sebagian fenomena yang terpotret. (Buahayyya tingkat dewa ini barang!)
Sehingga balik lagi ke ide awal tulisan ini, ada beberapa hal yang bisa di optimalkan dalam rangka “Physical Distancing” :
Pertama, walau fisik berjarak, tetap optimalkan kualitas hubungan sosial kita. Hal ini akan menjaga fitrah jika manusia adalah makhluq sosial, membantu mendapatkan kebutuhan, dan terbukti memberikan asupan jiwa lebih baik. Bukti nyata saat orang-orang menjerit kesulitan hand sanitizer eh alhamdulillah justru sekian grup malah menawarkan. Atau saat mengetahui ada teman yang sama kesusahan, bukankah kita merasa punya teman senasib dan sependeritaan? (hihihi, ketawa jahat ala…) *Astagfirullah… ruqyah mana ruqyah?
Kedua, jaga kontribusi saat berhubungan dengan sosial media dan komunikasi online yang kita punya. Berbahagialah yang masih banyak tergabung dalam berbagai grup WA, telegram, dsb. Banyakin baca dan komen berbagai postingan. Kasih like, comment atau respon apapun, sambil survey kecil-kecilan tentang apa yang terjadi. jika dirasa kurang seimbang, biasakan untuk beropini.
Misal : grup terlalu santuy pada corona maka carilah opini pembanding (bertebaran di muka google) lalu posting deh disana. Apapun hasilnya jangan terlalu baper, santuy aja. (toh manusia itu bukan satu kepala)
Ketiga, saat WFH & SFH ini yang terpenting jadikan waktu -yang banyak- di rumah untuk mempertajam kompetensi dan spesialisasi. Ahli kesehatan, ahli bangunan, Ahli agama, ahli pendidikan, dan ahli-ahli lainnya untuk berkontribusi dengan keahliannya. Ga perlu bicara di lapak kompetensi orang dulu, cukup menanggapi fenomena dengan keahlian yang dimiliki. Contoh bagaimana tinjauan corona menurut agama, maka para ustadz silakan bicara di grup. Jika menurut ahli bangunan silakan para arsitek bicara.
Lalu gimana yang merasa ga punya keahlian? ya bertobatlah, karena dosa saat kita tidak bersyukur dengan keahlian yang dimiliki (sekecil apapun). Karena, pasti manusia punya kecenderungan untuk memiliki sesuatu yang lebih dibanding yang lain. Akan ada masanya setiap orang bisa ahli, mudah-mudahan sampai jadi ahlinya-ahli dari ahlinya para ahli. Yakinlah itu.
Terakhir, di ujung proses Physical Distancing ini (InsyAllah tidak akan lama lagi), percayalah kita akan menjadi pribadi yang lebih seimbang. Mungkin tak selalu bisa memberi pencerahan, namun setidaknya bisa memberi tinjauan dari satu sudut pandang pikiran. Berkontribusi itu adalah kepuasan sosial yang bikin KETAGIHAN. Artinya, jangan kaget jika kedepan jadi kecanduan untuk memberikan respon, manfaat dan pencerahan. (disclaimer).
Ya setidaknya ini sebagai kompensasi sepinya kita selama ini. (yang mungkin terlanjur dianggap tiada di grup atau di media sosial, Astagfirullah nasiibbbb).
Jadi, camkan lah kawan:
“Diam itu tak salah, hanya saja bisa memicu masalah.
Bersuara pun tak selalu karena BISA, tapi setidaknya menyatakan bahwa kita masih ADA.”
Selamat bersuara dan berkontribusi.
Dengannya kondisi ini insyAllah tidak akan lama.
#JagaJarakTetapDekatkanSolidaritas
#SehatRagaSehatJiwa
*Free to Share (semoga bermanfaat)
Bisa memperkaya tulisan ini dengan comment. Thx