Oleh : A.Malik Nasrulloh , MM
Riaumag.com , Bandung
Bersyukur adalah kunci ketenangan.
Bersyukur bisa mendatangkan keberlimpahan.
Bersyukur bisa melahirkan pula kepedulian.
Namun, seringkali sulit dilakukan.
Beragam sebab sehingga diri berat mengamalkan.
Salah satunya?
Karena merasa tidak mendapatkan kenikmatan.
Padahal camkan hal ini :
وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا
“Dan jika kalian menghitung nikmat Allah, maka kalian tidak akan sanggup menghitungnya.” (QS. 16:18)
إِنَّاۤ أَعۡطَیۡنَـٰكَ ٱلۡكَوۡثَرَ
“Sungguh, Kami telah memberimu nikmat yang banyak”. (QS 108:1)
Mungkin sudah yakin kita mendapat banyak kenikmatan, tapi kenapa masih berat?
Ternyata ketemu sebab berikutnya, yaitu keyakinan kita belum ditambah kata selanjutnya yaitu : Merasa BERUNTUNG.
Ya seringkali kita lupa kata ini.
Padahal apapun kondisi kita, masih ada kata “Beruntung” dalam pilihan kata yang bisa diyakini.
Bukankah alam bawah sadar kita seringkali berkata:
“Untung masih ketahan, sehingga kopi ga jatuh”
“Untung kemarin sempat menghindar sehingga tidak tabrakan”
“Beruntung banget, masih bisa makan walau menu sederhana”
“Beruntung banget lu, sakitnya ga harus dirawat di RS, penuh dimana-mana”
Bahkan,
“Beruntung banget saya, walau status sederhana masih ada yang mau baca”
So,
Bisa jadi hanya perlu mengkonversi alam bawah sadar tersebut menjadi keyakinan alam sadar.
Bahwa kita bukan tanpa sadar merasa beruntung, namun memang dengan kesadaran kita mengakui sebagai pribadi yang beruntung.
Dan…. memang hidup kita banyak keberuntungan. Rasa ajaib yang membuat kita akan bersyukur walau dalam beberapa hal masih kekurangan.
Karena ingat kawan, “memang tidak mungkin kita serba sempurna, tapi saat merasa beruntung kita akan lebih sempurna”.
YES?
Ayo kita berlatih:
Apapun kondisinya,
“Aku memang masih beruntung!”
“Karena beruntung aku pantas bersyukur”
Dan…
Nantikan janjiNya bagi kita yang bersyukur itu.
*end
Saudaramu yang beruntung,
–@am.nasrulloh–
(for-riaumag.com)