Riaumag.com , Jakarta
Kasus Pandora Papers (PP) yang heboh awal Oktober 2021 menegaskan kembali, ternyata ekonomi bayangan itu masih kuat. Ada 12 juta dokumen yang mengungkapkan aset tersembunyi, penghindaran pajak, dan kasus pencucian uang oleh beberapa orang terkaya dan berkuasa di dunia.
Kehebohan Pandora Papers mulai mengungkap nama-nama orang Indonesia. Mereka disebut memiliki aset dan perusahaan cangkang di negara bebas pajak. Tentu, juga masih ingat, sekitar 5 tahun lampau, dunia juga digemparkan kebocoran dokumen serupa, Panama Papers. Saat itu, Indonesia tidak lepas dari terungkapnya data sosok-sosok yang diduga mengemplang pajak.
Belum lepas dari laporan kasus pengemplangan di atas, mengonfirmasi laporan PPATK, awal Oktober 2021 ini, bahwa dalam kurun 2016 hingga September 2021, PPATK membuat 2.607 laporan hasil analisis (LHA) dan 240 laporan hasil pemeriksaan (LHP). LHA dan LHP tersebut telah diserahkan kepada aparat penegak hukum. Sayang sekali, kurang dari 30 persen dari laporan “ekonomi bayangan” itu yang ditindaklanjutii.
Bahkan, merujuk Badan Pusat Statistik (BPS), besarnya aktivitas ekonomi bayangan diperkirakan 8,3 – 10 persen dari PDB. Jika PDB Indonesia pada triwulan II-2021 mencapai Rp4.175 triliun, potensi ekonomi bayangan mencapai Rp417,5 triliun. Besaranya ekonomi bayangan itulah, telah menggerus kapasitas pertumbuhan riil perekonomian Indonesia.
Lebih jauh, Transparency International Indonesia (TII) megestimasi potensi ekonomi bayangan 30 – 40 persen dari PDB. Malah, merujuk riset Azhar dan Shobien (2019), rentang 2005-2018, rerata besaran shadow economy mencapai Rp34,157 triliun per triwulan atau setara 1,84% PDB. Ihwal ini memantik hilangnya penerimaan pajak Rp4 triliun per triwulan atau setara 0,22% dari PDB.
Selanjutnya, masih ingat juga tentang kebijakan tax amnesty (pengampunan pajak)? Pada 2016 hingga 2017, kebijakan pengampunan pajak ini sempat heboh dan digadang-gadang bisa menambal penerimaan negara ribuan triliun rupiah melalui dana repatriasi dan deklarasi. Tercatat, ketika itu, dilaporkan penerimaan hingga Jumat (31/3/2017) mencapai Rp130 triliun, deklarasi harta Rp4.813,4 triliun, dan repatriasi Rp46 triliun.
Kendati terlihat jumbo, pada faktanya tidak sebesar itu alias “jauh panggang dari api”. Banyak dalih sebagian Wajib Pajak (WP), bahwa regulasi di negara tempat mereka menyimpan harta di luar negeri masih menyulitkan untuk menarik hartanya. Pun dana repatriasi yang dilaporkan itu bukan dana likuid, sehingga menunggu proses untuk diubah jadi tunai, atau menunggu pencairan/jatuh tempo untuk yang berbentuk deposito.
Jauh hari sebelumnya, alih-alih Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang S. Brodjonegoro pada Selasa (5/4/2016) menyebut angka Rp11.400 triliun uang Warga Negara Indonesia (WNI) yang diparkir di luar negeri. Tentu, angka yang “melangit” di atas PDB. Potensi uang sebanyak itu merupakan kekayaan dari para pemain lama, yang sudah bertahun-tahun menyimpan uang di luar negeri.
Dengan pelbagai kasus atau laporan di atas, apa sesungguhnya ekonomi bayangan itu? Bisakah ekonomi bayangan dikelola agar mampu mendongkrak pertumbuhan, pemerataan, dan keadilan ekonomi di tengah masa pandemi Covid-19 saat ini?
Ekonomi bayangan atau kerap disebut shadow economy. Atau lazim underground economy, parallel economy atau juga hidden economy. Sementara aktivitas yang ilegal, dikenal juga adanya black economy. Merujuk Schneider dan Enste (2002), shadow economy mencakup bukan hanya aktivitas-aktivitas yang legal tetapi juga pendapatan yang tidak tercatat yang berasal dari produksi barang dan jasa. Atau shadow economy mencakup semua aktivitas ekonomi yang dapat dikenakan pajak bila aktivitas-aktivitas tersebut tercatat di otoritas pajak (Brata, 2003).
Mengonfirmasi catatan Direktorat Jenderal Pajak RI (2019), kegiatan ekonomi bayangan itu tidak pernah dilaporkan sebagai penghasilan dalam formulir surat pemberitahuan tahunan (SPT) Pajak Penghasilan, sehingga masuk dalam kriteria penyelundupan pajak (tax evasion).
Ihwal ini membesar atau makin kompleks penanganannya, karena letak geografis wilayah Indonesia memang rawan penyelundupan. Dalam kondisi seperti itu, kegiatan ekonomi bayangan makin marak beriringan maraknya kegiatan illegal logging, illegal fishing, illegal mining, dan kegiatan ilegal lainnya.