Riaumag.com , Pekanbaru –Pengamat Politik Riau Saiman Pakpahan mengkritik keras aksi-aksi demo yang tidak dieskpresikan secara santun dan beradab yang sering terjadi belakangan ini. Termasuk aksi sekelompok massa, Rabu (2/6/2021) kemarin di Ruang Terbuka Hijau (RTH) Puteri Kaca Mayang Pekanbaru yang kasar, brutal dan jauh dari kesantunan Budaya Melayu.
Memang secara politik, kata Saiman Pakpahan, siapapun tidak boleh membatasi masyarakat dalam mengekspresikan hak-hak politiknya. Dan penyampaian aspirasi maupun pendapat di depan umum tersebut dilindungi oleh Undang-undang.
“Namun tentu saja ketika mengekspresikan (hak-hak politik) itu mesti dilakukan dengan cara-cara yang santun dan beradab. Apalagi budaya politik kita di Riau itu budaya Melayu. Jadi semestinya in-line dengan itu (budaya Melayu),” kata Saiman Pakpahan dalam wawancara dengan media, Kamis (3/6/2021) di Pekanbaru menanggapi fenomena aksi-aksi demo yang sering terjadi belakangan ini di Riau.
Dari pengamatan Saiman, aksi-aksi demo yang terjadi belakangan ini di Riau, hampir keseluruhannya diarahkan kepada Gubernur Riau Syamsuar, dengan berbagai caci maki serta tuduhan-tuduhan yang bersifat memvonis. “Ya, siapapun juga, selagi ber-KTP Riau pasti tidak akan setuju dengan cara-cara aksi unjuk rasa yang kasar, brutal dan jauh dari kesantunan budaya Melayu. Karena memang tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku,” katanya lagi.
Pengamat politik Universitas Riau ini juga mengkritik pemilihan diksi yang dipakai massa aksi seperti penyebutan “Syamsuar Gubernur Drakula” atau “Tangkap Syamsuar, Gubernur Koruptor”. “Itu sangat tendensius dan melukai hati banyak masyarakat di Riau. Pak Syamsuar itu Gubernur Riau, lho. Jadi tolong hormati marwah beliau sebagai Gubernur,” ujar Saiman Pakpahan lagi.
Saiman sekali lagi menegaskan bahwa aksi-aksi massa yang mengkritisi berbagai kebijakan dan permasalahan yang terjadi, tidak ada masalah.
“Karena kita negara demokratis dan perlu partisipatif politik dan hak-hak pendapat masyarakat itu muncul ke permukaan. Tetapi tentu saja harus disampaikan dan diartikulasikan dengan cara-cara santun dan beradab. Itu yang kita kritik,” tegasnya.
Kepada pihak-pihak yang ada di balik aktor gerakan tersebut, Saiman berharap mereka segera sadar. Karena apa yang mereka lakukan bukan cara yang benar dalam melakukan sosialisasi dan edukasi politik terhadap masyarakat Riau. “Kalau ingin membangun Riau secara komprehensif, mereka mestinya sadar. Berikan kesempatan kepada Pak Gubernur Syamsuar menyelesaikan pekerjaan rumahnya yang dijanjikan dalam Pilgubri kemarin selama lima tahun,” ujar Saiman.
“Kenapa harus diganggu-ganggu dengan gerakan-gerakan kelompok kepentingan yang tidak jelas itu?” kata Saiman lagi balik bertanya.
Saiman sendiri menduga aksi-aksi yang terjadi belakangan ini sangat kental motif politiknya dan bukan soal penegakan hukum lagi. “Kala mereka bilang ini soal penegakan hukum, kenapa Bansos yang dia bidik? Kenapa misalnya bukan kota Pekanbaru atau kota-kota lainnya yang terus-menerus dirundung masalah sampai saat ini. Kenapa Syamsuar yang hari ini notabene adalah Gubernur Riau yang jadi sasaran. Jadi (aksi-aksi) ini sangat kental dengan motif politik, bukan penegakan hukum,” tegasnya.
Sementara jika aksi-aksi itu murni soal penegakan hukum, menurut Saiman, mereka mesti menyasar banyak pengguna anggaran yang lain di Provinsi Riau. “Tapi kenapa ini saja dan yang mereka sasar itu terus-menerus adalah Gubernur Riau?” tanya Saiman lagi.
Karena itu, menurut Saiman, secara politik pemerintahan, sosial, budaya dan sebagainya, yang sangat dilanggar oleh kelompok-kelompok aksi itu adalah persoalan etik. “Ketika mereka menyampaikan aspirasinya, kita tidak bungkam mereka untuk bicara. Silakan, karena itu adalah hak kelompok kepentingan untuk menyampaikan fikiran-fikiran mereka. Tapi tolong hormati dan jaga marwan Gubernur. Itu Gubernur kita di Riau,” ungkap Saiman.
Kalaupun misalnya mereka mau sebutkan tentang kasusnya di Siak, kata Saiman, mestinya disebutkan waktu itu Syamsuar sebagai bupati. Jangan disebut Gubernur Syamsuar. Sebab, Syamsuar sebagai Gubernur Riau, tidak ada urusannya dengan kasus kemarin tersebut. Semestinya mereka itu, kata Saiman, memilah-milahnya.
“Jadi harapan saya terhadap aktor intelektual yang berada di belakang gerakan ini, aki (baca: baterai) intelelektualnya tolong dinaikan dikit, kalau mau main,” tegas Saiman Pakpahan.
Ketika ditanya soal diksi-diksi dalam demo, misalnya penyebutan “Gubernur Drakula” atau “Tangkap Syamsuar Gubernur Koruptor” apakah sudah memenuhi unsur pencemaran nama baik yang dapat dilaporkan ke penegak hukum, Saiman, menyarankan untuk meminta pendapat para ahli pidana. “Saya kira nanti bisa dilihat pasal-pasal delik aduan yang mengatur tentang pencemaran nama baik. Dan teman-teman di Fakultas Hukum lebih tepat untuk menanggapinya.” jawab Saiman.
Bagi Saiman selaku pengamat sosial politik dan pemerintahan, dia melihat lihat yang dilanggar itu murni persoalan etik. “Jadi etika politiknya itu tak ada untuk mengartikulasikan kepentingan. Etika pergerakan publiknya itu tidak terbangun. Sehingga mereka melakukan gerakan membabi buta, sangat propokatif, mereka ingin publik segera terpancing dengan gerakan-gerakan mereka,” tutup Saiman Pakpahan. (**)