RIAUMAG.COM , BANDUNG —–
Salah ciri hidup itu bergerak (motion). Hadir bersama dengan adanya emosi (emotion) yang bisa menyeimbangkan dan saling memberikan pengaruh.
Sifat dasarnya bergerak karena konon keduanya berasal dari bahasa Latin “movere” yang artinya bergerak (to move).
Keduanya harus di supervisi agar bisa di pantau dan terus di optimalkan. Namun, sepertinya emosi lebih jarang mendapat supervisi. Karena seolah tak berpengaruh terhadap aksi. Atau mungkin, karena masih dianggap abstrak oleh diri.
Padahal,
Emosi bisa membuat aksi tak terpuji. Termasuk penampakan diri yang tak terkendali.
Atau bisa juga emosi membuat diri berarti, karena bisa membawa pribadi untuk bisa banyak berbagi.
Saatnya men-supervisi emosi, mengatur napas, meniup kelapangan hati, agar badan bisa lebih menenangkan diri.
Dengannya mungkin tidak langsung merubah kondisi, tapi pasti bisa memberikan amunisi untuk kebaikan diri dan ketenangan hati.
Berita baiknya,
Ketenangan inilah yang dirindukan syurga:
“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dalam posisi suka dan disukai. Maka bergabunglah dengan hamba-hamba –Ku dan masuklah ke dalam surga Ku”. (QA al-Fajr 27-30).
Emosi dalam jiwa adalah kunci masih pantasnya kita disebut manusia.
Seorang penyair dari Mesir, Ahmad Syauqi, menegaskan “hanyalah karena jiwa dan bukan karena jasad engkau disebut manusia”. Maka bila jiwa seseorang sudah kotor, ia dianggap tidak mempunyai jiwa lagi. Ia hanya mempunyai nyawa. Hanyalah jiwa dan bukan nyawa yang mampu melihat, mendengar dan memahami wahyu (kebenaran).
Semoga kita senantiasa bisa men-supervisi emosi sehingga maksimal mengendalikan diri, demi hidup bahagia kini dan nanti.
Aamiin
–@am.nasrulloh–
(for-riaumag.com)