Riaumag.com –Pemikiran Soekarno tentang Pancasila itu sangatlah moderat. Karena itu, Pancasila maupun Negara Republik Indonesia (NKRI) jangan ditarik “ke kanan” dan “ke kiri”, tetapi letakkanlah di posisi tengah agar tetap menjadi rujukan bersama kehidupan berbangsa dan bernegara.
Demikian disampaikan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Dr Haedar Nashir MSi dalam pidato kebangsaan Muhammadiyah yang disiarkan secara langsung oleh TVMU dan CNN Indonesia, Senin (30/8/2021).
Menurut Prof Haedar, dalam posisi moderat itulah, Pancasila tidak boleh ditafsirkan dan diimplementasikan dengan pandangan-pandangan radikal dan ekstrem apa pun. Sebab, hal tersebut akan bertentangan dengan hakikat Pancasila itu sendiri.
Pikiran-pikiran nasionalisme yang radikal-ekstrem (ultranasionalisme, chauvinisme), keagamaan yang radikal-ekstrem (cita-cita negara agama atau teokrasi, fundamentalisme agama), multikulturalisme radikal-ekstrem (paham demokrasi, hak asasi manusia, pluralisme, dan toleransi liberal-sekular), sosialdemoktasi, serta segala ideologi radikal-ekstrem lainnya seperti komunisme dan liberalisme-sekularisme tidaklah sejalan dengan Pancasila yang berwatak dasar moderat.
Jika ingin menjalankan Pancasila yang moderat, kata Prof Haedar, strategi membangun dan mengembangkan pemikiran keindonesiaan pun semestinya menempuh jalan moderat atau moderasi, bukan melalui pendekatan kontraradikal atau deradikalisasi yang ekstrem.
“Kontroversial seputar Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), Survei Lingkungan Belajar (SLB), lomba pidato tentang hukum menghormat bendera, dan pemikiran-pemikiran pro-kontra lainnya mesti dihindari jika ingin meletakkan Pancasila bersama tiga pilar lainnya, yaitu NKRI, UUD 1945, dan Kebhinnekaan sebagai ideologi jalan tengah yang moderat,” papar Haedar dalam Pidato Kebangsaan yang diselenggarakan Universitas Muhammadiyah Malang bekerja sama dengan Universitas Ahmad Dahlan, Universitas Muhammadiyah Makassar, Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, dan para pihak itu.
Menurutnya, segala paham radikal-ekstrem tidaklah sejalan dengan Pancasila. Menghadapi paham radikal-ekstrem pun tidak semestinya dengan cara yang radikal-esktrem. Karena selain akan melahirkan radikal-ekstrem baru, pada saat yang sama bertentangan dengan jiwa Pancasila. Pikiran-pikiran “loyalis” maupun “kritis” yang hidup di tubuh bangsa Indonesia seyogianya mengandung pikiran dan cara-cara yang moderat atau jalan tengah serta tidak berparadigma radikal-ekstrem.
“Inilah jiwa dan karakter Indonesia berdasarkan Pancasila yang moderat, Indonesia jalan tengah!” tegasnya.
Indonesia Milik Bersama
“Bangsa (nation) itu ialah suatu solidaritas besar, yang terbentuk karena adanya kesadaran, bahwa orang telah berkorban banyak, dan bersedia untuk memberi korban itu lagi…yakni persetujuan, keinginan yang dinyatakan secara tegas untuk melanjutkan hidup bersama (le desir de vivre ensemble)…” demikian kata Haedar mengutip Ernest Renang tahun 1882.
Menurut filsuf Prancis yang menjadi rujukan para pendiri bangsa Indonesia seperti Soekarno, Mr, Soenarjo, Mr Mohammad Yamin itu, asas kebangsaan (nasionalitas) itu berbeda dengan asas ras. Indonesia sebagai negara-bangsa (nation-state) merupakan jalan tengah atau moderasi dari segala proses dan keragaman.
“Indonesia menjadi titik temu persatuan nasional seluruh rakyat Indonesia dari berbagai golongan sebagai era baru yang di era Nusantara berpencar dan menjadi entitas sendiri-sendiri yang tidak mengarah ke persatuan,” kata Haedar mengutip Anthony Reid (2018).
Haedar tak lupa mengutip perkataan Soekarno dalam pidato 1 Juni 1945 bahwa kita hendak mendirikan suatu negara semua buat semua”. Mohammad Hatta menegaskan pentingnya “kolektivisme” dalam berbangsa dan bernegara. Dari Dwi-Tunggal pemimpin Indonesia itu maupun dari para pendiri negara yang lainnya kuat sekali kehendak untuk menjadikan Indonesia milik bersama seluruh rakyat Indonesia. Jiwa gotong royong mendasari bangunan Indonesia dalam seluruh aspek kehidupan agar tidak ada oligarki politik, oligarki ekonomi, dan oligarki lainnya yang merusak kebersamaan dan menjadikan Indonesia hanya milik sekelompok kecil pihak.
Menurut Mohammad Hatta, kata Haedar, ketika para pemimpin rakyat duduk di BPUPKI merumuskan UUD 1945, khususnya dalam bidang ekonomi terkandung cita-cita “untuk mencapai kemakmuran yang merata”, sebagaimana termaktub dalam pasal 33 UUD 1945, yang melahirkan sistem “ekonomi terpimpin”.
“Dalam sistem ekonomi terpimpin, pemerintah harus bertindak supaya tercapai suatu penghidupan sosial yang lebih baik. Penghidupan sosial itu harus berdasarkan keadilan sosial,” lanjut Haedar lagi lagi mengutip Bung Hatta.
Di tengah keresahan melebarnya kesenjangan sosial, bumi, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh segelintir pihak, dan menguatnya oligarki politik, Indonesia harus dikembalikan kepada jati dirinya sebagai milik semua. Pemerintah negara wajib hadir dalam melindungi seluruh rakyat dan tumpah darah Indonesia serta mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
“Di negeri ini tidak semestinya berkembang “siapa yang kuat dia yang menang” dan menguasai Indonesia dalam hukum Darwinian. Manakala hal itu terjadi, Indonesia dapat terpapar radikalisme-esktrem bentuk lain, yang tentu saja tidak sejalan dengan Pancasila. Indonesia wajib hukumnya untuk menjadi milik semua!” tegasnya.
Karena itu, jiwa Bhinneka Tunggal Ika penting terus digelorakan. Bukan hanya untuk menumbuhkembangkan sikap bersaudara dalam kemajemukan SARA, tetapi juga menegakkan kebersamaan secara politik dan ekonomi. “Tujuannya agar tercipta persatuan Indonesia dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kami percaya masih banyak anak bangsa, termasuk para pejabat negara, politisi, dan pengusaha, yang berjiwa luhur untuk terciptanya Indonesia milik bersama!” paparnya.
sumber : klikmu.co