Dari Buku Raja Bambang Sutikno
Riaumag.com , Jakarta
Kita boleh memaknai spiritual sebagai nurani, suara hati, barkaitan dengan rohani dan bathin. Spiritual Quotient = Kecerdasan/Pencerahan Nurani. Spirit mempunyai beberapa arti, diantaranya : arwah, berani, semangat, moral, jiwa, sukma, hati nurani, dll. Misalnya dalam kalimat; He has a bad spirit = Dia mempunyai moral yang buruk. Contoh lain; At death the spirit leaves the body = Pada saat kematian arwah meninggalkan jasad.
Nurani atau suara hati perlu diasah agar tajam sensitif dalam menerima pencerahan, dan kemudian akan menghasilkan nurani nan peka terhadap kondisi sekelilingnya mulai dari keheningan hingga kehiruk-pikukan kehidupan. Nurani yang dicerahkan itu semakin kokoh dalam membimbing manusia merasakan yang baik dan buruk, mana yang berpahala dan mana yang berdosa, mana yang halalan toyiban dan mana yang haram, apakah menyehatkan atau menyakitkan, yang mana memberi manfaat atau mudarat.
Dalam banyak hal, kita selalu diingatkan oleh ungkapan ‘gunakanlah hati nuranimu’ atau ‘dengarkanlah bisikan nurani dari lubuk hati yang paling dalam’. Ketika logika tidak mampu lagi menganalisa, gunakanlah nurani yang ikhlas dan cerdas.
Dalam berfikir dan bertindak manusia selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan dan kalkulasi-kalkulasi, maka ketika itu gunakanlah nurani sebagai cahaya untuk menerangi arah yang harus ditempuh demi kemaslahatan umat manusia, demi bangsa dan masyarakat luas, bukan hanya demi diri sendiri.
Visi dan inovasi tanpa nurani akan melenceng dan melambungkan ego yang akan mendominasi pilihan-pilihan. Dimana pilihan tanpa nurani akan menimbulkan bencana di muka bumi karena nafsu manusia yang ingin berkuasa, mengeruk keuntungan sebesar-besarnya sehingga lingkungan dihantui polusi, iklim menelan korban, alam berteriak berang mengirim banjir serta letusan dan gempa.
Jika kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mampu menghasilkan kloning-kloning, maka nurani harus membisikkan bahwa kloning terhadap manusia bukan suatu pilihan yang bijak, atau bencana yang lebih dahsyat akan menimpa kita.
Nurani yang terabaikan telah membawa Hitler menyerbu serta mematikan jutaan orang dalam kurun waktu yang singkat. Nurani yang terabaikan telah membawa Belanda penjajah menguras hasil alam serta memaksa pekerja rodi di negara jajahannya demi kemakmuran bangsanya nun jauh disana, bahkan tega membunuh secara masal ratusan atau ribuan penduduk bumi putera. Nurani yang terabaikan telah menonjolkan sikap rakus negara adikuasa mencaplok negara kaya minyak.
Nurani yang terabaikan telah menciptakan konglomerat pengemplang BLBI. Nurani yang terabaikan telah menciptakan koruptor-koruptor tak bermoral, sebagian PNS tak berbudi mulia dan berakal mulia, serta politikus tak berprikemanusiaan, sehingga mereka menciptakan kesengsaraan tiada tara pada ummat manusia.
Nurani yang diasah serta memperoleh pencerahan akan mengaktifkan denyut pada God Spot dalam benak manusia. Nurani selalu membisikkan nada-nada kebaikan terhadap alam semesta dan bagi sesama mahluk, yaitu keihklasan memberi dan menerima serta kerukukan kepada Sang Percipta. Kemarahan bukan datang dari hati nurani, tetapi datang dari emosi yang tidak terkendali. Kasih sayang datang dari kecerdasan nurani yang diasah, perasaan suka memaafkan datang dari kecerdasan nurani yang disucikan.
Dendam kesumat dan kemunafikan milik nurani yang tak pernah dicerahkan di atas emosi yang tumpul, sedangkan kesabaran dan kejujuran milik hamba yang menyerahkan hati nurani dalam bimbingan Yang Mahaesa.
Dari mana dan bagaimana manusia diciptakan? Renungkanlah itu. Dari tiada, manusia diciptakan untuk dihidupkan, kemudian dimatikan dan dihidupkan kembali. Semua itu atas kehendak dan kekuasaan Yang Mahaagung Lagi Mahapencipta. Kenapa proses itu terjadi? Kita patut merenungkan nilai-nilai spiritual yang terkandung di dalamnya. Jangan berjalan di muka bumi dengan congkak dan takabur, sesungguhnya Tuhan Mahasempurna dalam mengatur dan menyusun segala sesuatu.
Tatkala anak manusia dilahirkan, dia menangis namun orang lain tertawa bahagia. Kemudian ada yang berangsur jadi dewasa, ada yang mati muda ada pula yang hidup sampai tua pikun. Walaupun ketika lahir, bayi tidak mengetahui apapun namun kita mesti yakin bahwa sejak masih dalam kandungan, semenjak awal penciptaan manusia atau sejak awal manusia bernapas yang dimulai dari roh yang dihembuskan Sang Pencipta, jabang bayi sudah merasakan sentuhan spiritual.
Calon bayi yang masih dalam rahim tidak mengetahui, tetapi ada getaran nuraninya yang merasakan. Sebelum ada Q2, Q3 maupun Q4, bayi dalam kandungan sudah merasakan ada kehidupannya. Karena itu si ibu, juga si ayah, harus selalu berkata dan berprilaku mulia, harus selalu berdo’a kepada Tuhan dan berpikir positif serta bergembira ria agar si bayi merasakan sentuhan bathin itu.
Bahkan dokter serta penelitian moderen mengakui jika si ibu mentalnya sedang tidak stabil secara psikologis, atau hatinya gundah gulana, pikirannya kalut, atau mungkin nuraninya menghirup kehidupan yang busuk dan kotor maka si bayi pasti terpengaruh kesehatannya baik secara jasmani maupun rohani.
Apakah karena si bayi berpikir, mendengar dan tahu melalui penalarannya? Tidak, dia tidak mengerti, namun nuraninya bergetar juga dan pertumbuhan janinnya terpengaruh juga. Itulah sebabnya saya meletakkan SQ pada Q pertama. SQ sudah ada mengawali perkembangan PQ, EQ, dan IQ.
Orang tua harus ikut membantu anak mengasah nuraninya. Banyak contoh sederhana untuk melihat bagaimana seorang anak yang mulai akil baliq mengalami salah asuhan dan salah pengasahan terhadap kapasitas 4Q dalam dirinya. Manusia terlalu fokus dengan kesehatan dan perkembangan lahiriah namun sering lalai memberi sentuhan SQ terhadap pertumbuhan anak.
Ada berapa banyak anak muda menyetir mobil seraya mengaku belum punya SIM (Surat Izin Mengemudi). Ada lagi seorang wanita muda subuh hari menabrakkan mobilnya ke sejumlah orang pejalan kaki di trotoar. Dia membunuh beberapa orang sekaligus akibat mengemudikan kendaraan dibawah pengaruh obat terlarang.
Sering kali terjadi, anak muda belum memiliki SIM (karena belum cikup usia), namun diberi mobil oleh orang tuanya, kemudian terjadi Lakalantas, yang menjadi korban masyarakat awam di jalanan. Sebenarnya, pangkal kesalahan itu dimana?
Saya percaya ini hanya sebagian kecil contoh perilakui anak-anak muda remaja yang tak berkendaraan sebagaimana mestinya, dimana orang tuanya mempunyai andil atas spirit yang dangkal itu. Orang tua macam begini banyak, misalnya yang menganggap remeh masalah SIM, dengan enteng menginzinkan anaknya mengendarai mobil/motor tanpa mempertimbangkan kedewasaan fisik dan mentak si anak.
Bahkan sebagaian anak (juga orang dewasa) yang sudah waktunya harus memiliki SIM namun tidak memperdulikannya. Ada pula anak yang belum waktunya memiliki SIM (belum cukup usia) malah sudah mempunyai SIM. Ketika mengurus pembuatan SIM, dia memberi data bohong tentang usianya dan orang tuanya membiarkan atau bahkan mungkin yang mengajarkan si anak sehingga berani berbohong. Sungguh meremehkan nilai-nilai positif SQ.
“Pa, tolong dong aku dibuatkan SIM” pinta putriku. Suatu hari kira-kira belasan tahun yang lalu, anak saya yang masih di SMA meminta saya membantunya mengambil SIM mobil. Walaupun dia sudah dapat mengemudikan dengan baik setelah berbulan-bulan saya latih, namun tidak pernah saya izinkan mengemudi di jalan raya atau jalan umum karena belum mempunyai SIM.
“Umurmu belum 17 tahun, jadi belum boleh mengajukan SIM.”
“Tetapi teman-temanku ada yang sudah punya SIM, umur mereka juga belum 17. Papa/Mama mereka mau menguruskan SIM untuk mereka. Aku minta juga ya Pa.”
“Anakku, mungkin mereka berbohong ketika mengisi data pengajuan SIM. Mereka korupsi umur. Papa tidak mau mengajarkan atau mengizinkan anak Papa melakukan dan mencontoh hal itu. Masih banyak orang yang selalu berada di jalan yang lurus yang pantas kita contoh. Nanti setelah umurmu 17 tahun, Papa akan membantumu menguruskan SIM.”
Mungkin itu simple conversation atau dialog yang sederhana namun saya yakin betul bahwa saya sedang menanamkan benih kepekaan Spiritual Quotient. Itu jauh lebih baik dari pada mengajarkan anak atau membiarkannya berdusta. Tanpa mereka sadari, banyak orang tua yang menanamkan benih ini kepada anak; Berbohonglah demi kenikmatanmu. Itulah bibit dan benih yang akan tumbuh menjadi pembohong dan penipu besar. Itulah pelajaran awal atas perkembangan akal budi yang akan menjadi koruptor, atau pemimpin yang tega menzolimi rakyatnya.
Ketika putriku mulai menduduki bangku kuliah, usianya baru saja memasuki angka 17. Dia mulai mengendarai mobilnya ke kampusnya. Sebelum itu kami sudah pergi mengurus SIM. Saya sudah menceramahinya sejumlah aturan lalu lintas serta arti rambu-rambu. Saya tau daya menghafalnya tidak jelek maka saya yakin dia tentu ingat sebagian besar ceramah saya itu. Di Kantor Polisi tempat urusan SIM itu anakku berjalan dari satu loket ke loket lainnya sesuai dengan prosedur. “Jalankanlah sesuai prosedur, itu akan menambah pengalaman dan wawasanmu” kataku memberinya semangat.
Dalam perjalanan pulang anak saya mengungkapkan keheranannya bagaimana peugas menangani proses dengan tidak efisien, berbelit-belit.
Saya berujar, “Generasi muda harus berani merubah hal hal yang tidak pantas, yang di luar aturan, yang tidak wajar, terutama yang sudah keterlaluan. Tadi kamu lihat dan rasakan sendiri, jadikanlah pengalaman itu sebagai cambuk untuk berbuat yang lebih baik. Setiap manusia diminta pertanggung-jawabannya di dunia dan di akhirat. Setiap manusia akan menuai apa yang ditaburnya, memetik apa yang ditanamnya.”
Dari sisi SQ, kita dapat melihat ketidak-pedulian atau ketidak-percayaan para penipu, para koruptor dan para munafikun itu terhadap hari Pembalasan. Hari pembalasan itu pasti datang. Hanya dengan nurani yang dicemerlangkan barulah manusia mampu meyakini hari itu jelas adanya.
Banyak orang berilmu, terutama dengan ilmu dari dunia barat, berdalih bahwa akhirat itu hanya cerita hayalan untuk menakut-nakuti. Karena mereka tidak percaya dengan alam barzah, padang mashar, surga neraka, maka mereka pun tidak percaya dengan hari pembalasan di akhirat.
Akhir-akhir ini di dunia barat telah banyak muncul para ilmuwan dengan kesadaran betapa perjalanan hidup di dunia adalah persiapan atau bekal menuju kehidupan lain di akhirat. Disana amal ibadah serta perhitungan hak dan pertanggung-jawaban dihisab secara rinci dan dengan adil seadil-adilnya. Ilmu pengetahuan moderen telah membuktikan, setiap gen di tubuh manusia merekam apa yang terjadi padanya. Dan menurut pendapat saya, rekaman itu tentu akan diputar pada pengadilan di akhirat. Tak ada yang tersisa, tak ada yang terlebihkan. Begitulah keyakinan SQ semestinya.
Kazuo Murakami, Ph.D. menulis dalam bukunya ”The DEVINE MESSAGE of the DNA halaman 37-38; ……. Kita bahkan telah berhasil memecahkan kode gen manusia ……. membawa kita pada penemuan-penemuan tak terduga lainnya.
Contohnya, kita sekarang tahu betapa kecilnya gen kita. Kode genetik manusia, yang tersusun dari lebih dari tiga miliar ”huruf-huruf kimia”, semua tersimpan dalam untai-untai berukuran mikroskopik yang memiliki berat hanya satu per 200 miliar gram dan lebar hanya 1/500.000 milimeter – namun jika direnggangkan, mereka memiliki panjang sekitar tiga meter. ………..Gen adalah cetak biru dari kehidupan kita, elemen kunci yang memungkinkan diteruskannya kehidupan dari satu generasi ke generasi berikutnya, dan sel adalah unit dasar dari seluruh makhluk hidup. …….
Inilah DNA, gen kita. Informasi yang terkandung di dalam gen kita, yang dikenal sebagai informasi genetik, sepadan dengan tiga miliar huruf-huruf kimia……..
( Bersambung )
(rbs/riaumag.com)