Putusan Mahkamah Agung mengabulkan upaya Peninjauan Kembali (PK) Presiden Joko Widodo atas kasus kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah dianggap aktivis WALHI sebagai “langkah mundur penegakan hukum” dan “mengkhianati komitmen memitigasi perubahan iklim”.
Putusan MA yang terbit pada 3 November 2022 itu mematahkan putusan pada tingkat sebelumnya, di mana pemerintah dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum atas karhutla yang terjadi pada 2015.
Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Nasional Walhi, Uli Arta Siagian menyayangkan sikap pemerintah yang justru mengajukan PK, alih-alih menjalankan putusan sebelumnya.
“Seharusnya presiden, KLHK dan gubernur terima saja putusan MA sebelumnya bahwa telah melakukan perbuatan melawan hukum atas kebakaran hutan dan lahan 2015 lalu dan menjalankan tuntutan-tuntutan yang dikabulkan, sebagai bentuk pertanggungjawaban negara atas derita yang dialami rakyat saat kebakaran hutan,” kata Uli melalui keterangan tertulis, Senin (21/11/2022).
Uli menilai putusan ini juga bertentangan dengan komitmen-komitmen yang disampaikan oleh pemerintah sendiri dalam berbagai forum internasional soal mitigasi perubahan iklim.
Menurut data KLHK, sebanyak 2,6 juta hektare hutan dan lahan terbakar pada 2015.
Kalimantan Tengah adalah provinsi paling terdampak kedua setelah Sumatra Selatan akibat karhutla. Sekitar 584.000 hektare hutan dan lahan terbakar di Kalimantan Tengah pada 2015.
Laporan BBC News Indonesia pada 16 Oktober 2015 memuat bahwa karhutla membuat kota Palangkaraya diselimuti kabut asap.
Indeks kualitas udara di Palangkaraya sempat mencapai kisaran 2.000, padahal indeks di atas 350 saja sudah masuk kategori berbahaya.
“Sesak sekali, mata pedih. Di dalam ruangan pun harus menggunakan masker,” kata Ninit, seorang warga Palangkaraya pada saat itu.
Pegiat kecam putusan MA bebaskan Jokowi dari ‘perbuatan melawan hukum’ atas karhutla di Kalteng, ‘Kalau pemerintah saja tidak patuh, bagaimana pihak lain?’© Getty Images
Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Tengah Bayu Herinata menilai upaya PK pemerintah, yang kemudian dikabulkan oleh MA ini, “semakin menguatkan bahwa pemerintah tidak serius menjalankan putusan hukum”.
“Kalau pemerintah saja tidak bisa patuh terhadap putusan hukum, bagaimana dengan pihak lain yang terjerat hukum akibat kelalaian mereka yang menyebabkan karhuta? Seperti sejumlah perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kalteng yang sudah diputus bersalah sampai saat ini belum ada yang menjalankan putusan pengadilan,” kata Bayu.
Bayu juga mempertanyakan proses pengajuan PK hingga terbitnya putusan yang dianggap “terjadi sangat cepat dan tidak terbuka”.
Sedangkan salah satu penggugat, Arie Rompas menilai putusan MA ini sebagai “putusan ajaib”.
Dia juga menyatakan “akan terus berjuang” mewujudkan perlindungan lingkungan dan penegakan hukum di tengah krisis iklim yang mengancam.
BBC News Indonesia telah menghubungi Juru bicara MA Andi Samsan Nganro untuk menanggapi kritik dari para pegiat lingkungan ini, namun belum mendapat respons sampai berita ini ditulis.
Melalui situs resmi MA, tertera bahwa PK ini diajukan oleh pemerintah pada 3 Agustus 2022, lalu dikabulkan oleh majelis hakim yang diketuai Zahrul Rabain dan hakim anggota Ibrahim serta M Yunus.
Jejak perkara
Perkara yang membelit Presiden Jokowi bermula dari gugatan kelompok masyarakat atas kasus kebakaran hutan dan lahan. Para penggugat, antara lain Arie Rompas, Kartika Sari, Fatkhurrohman, Afandi, Herlina, Nordin, dan Mariaty.
Mereka menggugat Presiden Joko Widodo, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Menteri Pertanian Amran Sulaiman, Menteri Agraria dan Tata Ruang Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil, Menteri Kesehatan Nila F Moeloek, Gubernur Kalimantan Tengah Sugianto Sabran, dan DPRD Kalimantan Tengah.
Pada putusan tingkat pertama yang diketok pada 22 Maret 2017 dengan Nomor 118/Pdt.G.LH/ 2016/PN.Plk, Pengadilan Negeri Palangkaraya menjatuhkan vonis yang menyatakan para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Presiden Jokowi lantas diputus untuk menerbitkan Peraturan Pelaksana dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang penting bagi pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan, dengan melibatkan peran serta masyarakat.
Presiden juga diperintahkan membentuk tim gabungan untuk penanggulangan karhutla, membangun rumah sakit khusus paru-paru, membuat ruang evakuasi khusus karhutla, serta tim gabungan penanggulangan kebakaran.
Tetapi pada putusan ini, hakim menolak tuntutan penggugat agar KLHK mengumumkan kepada publik perusahaan pemilik konsesi dan lahan yang terbakar.
Atas putusan itu, Jokowi dkk tidak terima dan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Palangkaraya.
Namun, pada 19 September 2017, Pengadilan Tinggi Palangkaraya menolak banding dan menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Palangkaraya, dengan nomor perkara 36/PDT.G-LH/2017/PT PLK.
Pemerintah kemudian menempuh jalur kasasi ke MA atas putusan itu. Pada 16 Juli 2019, MA menolak kasasi pemerintah.
Salah satu pertimbangan hakim pada saat itu adalah penanggulangan bencana atau karhutla di sebuah wilayah adalah kewajiban negara.
Tetapi setelah kasasi itu ditolak, pemerintah langsung berniat mengajukan PK, sebagaimana disampaikan oleh Menteri LHK Siti Nurbaya.
Kepada Detik.com pada 19 Juli 2019, Siti mengatakan “pemerintah sudah melakukan penanggulangan kebakaran hutan dengan baik”.
Dia juga mengklaim bahwa karhutla menurun drastis setiap tahunnya, dan luas area yang terbakar telah berkurang 92,5%.